Ketik di sini

Selasa, 31 Januari 2012

Kunikmati Sayap-sayap Patah dalam Bias Cahya-Nya

jika aku tetap melangkah, karena aku percaya akan takdir Tuhan
aku percaya, sangat percaya. bahwa setiap langkahku senantiasa bersemayam cahaya Illah
sebab, tanpa-Nya, aku hanyalah pejalan sunyi, seorang sendiri
dan. dalam kesendirian itu aku hanya menyua kekosongan demi kekosongan
kekosongan itu sedemikian kalut, semakin kalut
 saat aku tak menyandarkan penderitaanku di atas bahu-Nya
air mata tak berhenti melarung dalam samudera-Mu, dalam setiap doa dan harapku
terombang-ambing dalam ombak-Mu adalah santapan setiaku
namun, aku tahu. kebersamaan-Mu senantiasa menjawabnya.

dini hari sempat kelam, itu adalah hal yang wajar;senantiasa aku sua
gelap dan kelam; dua kata yang sempat mematahkan sayap-sayapku
dan. sayap-sayap itu berserakan di tiap sudut terasing
sudut yang sama sekali tak aku kenali
entahlah, kenapa ia membuaaku terjatuh. dan engkau tahu itu, aku membutuhkan waktu yang lama untuk bangkit. dan. berdiri...
mengenali sudut terasing itu, seorang diri
pun, aku senantiasa masih linglung. meski sanggup berdiri
cahaya Tuhan-lah yang mengajakku berdiri, bangkit melawan sepi; seorang diri

besok?
entahlah....

tapi, aku yakin....
seperti ceracau sang pujangga besar Jerman, Van Goethe, aku berlari...
menuju jiwa-jiwa yang agung...
aku menikmati sayap-sayap yang sempat patah
dalam bias cahaya-Nya


*judul "Kunikmati Sayap-sayap Patah dalam Bias Cahyanya" terinspirasi dari karya besar Khalil Ghibran

Jumat, 27 Januari 2012

Tempat Aku Terhampar di Hadapan Tuhan



                 
serasa terduduk dalam kesendirian di ruangan ini
ketika bulirbulir angin menyelinap melalui sebalik jendela
di sekelilingku
i’tikaf pagi merona manusiamanusia asing
atau aku sendiri yang mengasingkan diri?
entahlah
bukankah di atas meja ini penaku berdiri
memuncrat darah dalam secarik kertas
ah!
tahajjud sunyi pun menggerimis luka di atas kerutinan belaka

pula, tape recorder yang bersemadi dalam kesndirian
di meja paling depan
melengkingkan cacian
sepatah demi patah
: kata adalah darah
sebait demi bait
:sajak adalah rasa sakit
memuncrat kerinduan
dalam metafor keriuhan
telah kupalingkan muka kala di atas titian
di atas tangga demi tangga: kematian?
merangkai harap lewat sebijih sajak
meski sang pujangga kehidupan mengharap tuak
yang tersaji adalah secangkir kopi
pagi ini

lalu
menjelang senja memerangkap hari
aku menepi di atas pesisir
menyanyikan lagulagu urban terusir
memandang lurus ke barat
ke lautan
tempat aku terhampar di hadapan Tuhan


5/1/2011


Selasa, 24 Januari 2012

Tafakkur Dini Hari

Atas nama Tuhan-pun, kita masih berlayar dalam lantunan-Nya...
meski kita terlahir beda, dalam bait-bait yang memecah gelombang dini hari
aku pun menyaksikanmu
menerkam rasa sakit, luka dan air mata.....

andaikan sedetik saja mereka merasa apa yang kita rasa
barangkali, jiwa mereka telah punah dalam peradaban
dalam sedetik saja..

Puji Tuhan!
katamu...

Minggu, 22 Januari 2012

Sebelum......

sebelum rintik datang
matahari menghilang
gelap datang dalam nanar watas senja
sebelum kita lelap
menjelang persimpangan itu
ijinkan aku kembali menemuimu
dalam rona yang membilang beda..

jan 2012

Kelana

engkau pun tetap berlayar
mengayuh jejak
yang sempat tertatih
dalam dekap rindu
dan
air
mata

jan 2012