Ketik di sini

Minggu, 05 Agustus 2012

Menakar Keadilan bagi Difabel



Pernah mendengar istilah difabel? Difabel adalah istilah yang ditujukan bagi orang-orang dengan kemampuan berbeda atau Different Ability. Hal ini sebagai langkah mengubah persepsi masyarakat yang cenderung memiliki persepsi menyudutkan kaum difabel. Sekitar tahun 1999 istilah difabel dibawa oleh para aktifis penyandang cacat yang sadar akan dampak negatif dari istilah "cacat" yang selama ini melekat pada mereka. Istilah penderita cacat atau penyandang cacat sendiri jelas berdampak besar bagi psikologis.

Istilah difabel dianggap lebih layak karena merupakan simbol kesetaraan antara manusia normal dengan manusia yang memiliki keterbatasan secara fisik. Kebanyakan orang tidak terlalu menganggap serius karena menganggap hanya sebatas istilah saja. Ironisnya dalam ranah akademik, seolah kaum difabel tidak diberikan kesetaraan apalagi perlakuan khusus dan dalam hal pengadaan fasilitas. Akibatnya, tidak sedikit pelajar atau mahasiswa difabel yang tidak dapat bersaing dengan mahasiswa normal lainnya. bahkan dalam beberapa kejadian, tidak sedikit lembaga pendidikan -dalam hal ini univervitas- yang menolak kaum difabel, dengan alasan "cacat".

Menengok kembali ke dalam kampus, Tim Litbang Surat Kabar Mahasiswa (SKM UGM) BULAKSUMUR mencoba melakukan survey atas pandangan mahasiswa UGM terhadap permasalahan diatas. Dari 200 mahasiswa sebagai responden dari berbagai fakultas, kami mendapatkan sejumlah data yang menjadi acuan kami. Mengenai istilah difabel sendiri, 148 orang (74%) “mengetahui” sedangkan 52 orang (26%) “tidak mengetahui” istilah difabel. Seharusnya istilah tersebut sudah tidak asing lagi di kalangan mahasiswa, hanya saja pihak UGM sendiri seolah tidak terlalu menyorot permasalahan mengenai mahasiswa difabel, akibatnya masih saja ada yang tidak mengetahui istilah tersebut, apalagi tuntutan kesetaraan yang dibawanya. Kesadaran mahasiswa akan lingkungan sekitarnya juga perlu mendapat sorotan serius.

Selanjutnya 109 orang (54,5%) pernah menemui mahasiswa difabel dan 91 orang (45,5%) lainnya tidak pernah. Sekitar setengah dari jumlah responden menyatakan pernah menemui mahasiswa difabel, membuktikan tidak sedikit kaum difabel dalam kampus kita yang perlu diperhatikan mengenai akses mereka dalam setiap kegiatan akademik. Pada pertanyaan terakhir kami mencoba mengangkat masalah fasilitas di UGM, apakah menunjang atau tidak bagi kaum difabel. Diluar dugaan, ternyata 45 orang (22,5%) menjawab “ya” sedangkan 155 orang (77,5%) menjawab "tidak".

Dari data tersebut dapat disimpulkan sebagian besar mahasiswa berpendapat fasilitas di UGM masih belum menunjang bagi kaum difabel, baik fisik maupun non fisik. Hali ini dapat dilihat dengan hamper tidak adanya fasilitas yang menunjang bagi mahasiswa difabel. Padahal sudah ada beberapa mahasiswa difabel di UGM, dan tidak sedikit dari mereka yang berprestasi. Lantas kenapa isu tentang kaum difabel masih "adem-adem" saja? Bukannya diberikan perlakuan khusus, seolah mahasiswa difabel justru dipaksa menyerah dengan keterbatasannya, terutama dalam fasilitas yang diberikan. Dibalik fenomena tersebut, nampak masih minimnya kesadaran bersama dalam membangun lingkungan yang kondusif. Mungkin masih ada kebingungan dalam mengetahui ciri-ciri kaum difabel. Karena untuk mengetahui ciri kaum difabel harus melibatkan seluruh kondisi fisik dan kejiwaan pada saat bersamaan. Perlu adanya sosialisasi mengenai kaum difabel dan definisi dari istilah difabel itu sendiri serta apa yang mereka butuhkan dalam lingkungan, dengan demikian keterbatasan fisik bukan hambatan lagi.

Sejauh ini dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pendidikan di negeri kita belum sepenuhnya berbasis sensitivitas terhadap difabel. Termasuk di UGM yang selama ini dikenal sebagai universitas terbesar dan tertua di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan fasilitas-fasilitas yang ada belum sepenuhnya aksesible terhadap difabel, baik aspek fisik (bentuk bangunan) maupun non fisik (kurikulum, tenaga pengajar, dll).

Paradigma pendidikan inklusi di UGM belum sepenuhnya berkembang,, bahkan dapat dikatakan masih sangat minim. Hal ini bukanlah hal yang mengejutkan, mengingat dalam segala aspek kehidupan, difabel masih menempati posisinya sebagai kaum marginal yang tidak pernah lepas dari diskriminasi, jauh dari rasa keadilan. Kesempatan bagi difabel untuk mengembangkan identitas diri dalam lingkungan sosial masih sangat terbatas, termasuk dalam bidang pendidikan.

Berdasarkan data yang ada, hanya sekitar 0,06% difabel di Indonesia yang mengenyam perguruan tinggi dari total delapan belas juta difabel. Suatu angka yang mencengangkan sekaligus ironis mengingat selama ini kita seringkali mendengungkan dan menyuarakan isu Hak Asasi Manusia (HAM). Lalu apakah esensi yang kita suarakan itu?

Selama ini isu HAM lebih banyak menyoroti isu gender, masyarakat prooletar, dan isu-isu lain yang di dominasi cekcok hukum dan politik. Isu tentang difabel belum sepenuhnya mendapat perhatian serius. Sehingga pemahaman masyarakat mengenai difabel pun dapat dikatakan belum seberapa, termasuk di dalamnya tentang pentingnya pendidikan inklusi.

Difabel merupakan individu yang memerlukan layanan pendidikan khusus dan secara signifikan berada di luar rerata normal, baik dari segi fisik, inderawi, mental, sosial, dan emosi agar dapat tumbuh dan berkembang secara sosial, ekonomi, budaya, dan religi bersama-sama dengan masyarakat di sekitarnya.

Namun, kecenderungan pendidikan sekarang yang berkembang adalah pendidikan yang eksklusif dan tersegresi. Alhasil, difabel pun menjadi semakin terkucilkan dalam pergaulan masyarakat. . Meyerson (1980) dalam Sri Moerdiani (1995: 16) menyebutkan bahwa kelainan sering dipandang dari ketidakmampuan (disability) dan merupakan akibat dari suatu yang ditentukan masyarakat. Difabel yang menjalani proses sosial terpisah dengan masyarakat (sekolah segregasi) akan mengalami ketidakseimbangan yang dapat dilihat dalam kegagalannya memenuhi kebutuhan secara fisiologis, psikologis maupun sosial. Ketidakseimbangan ini dapat dilihat dari kesejahteraan difabel yang minim.

Selama ini stigma yang berkembang di masyarakat adalah difabel merupakan kaum minoritas yang harus disantuni, dikasihani, bahkan yang lebih tragis lagi adalah direhabilitasi dalam lingkungan yang terpisah dari masyarakat –yang dipandang- normal. Dampak adanya segresi semacam ini, membuat pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap difabel menjadi dangkal dan sempit. Buntutnya, tidak sedikit masyarakat yang mengucilkan dan mengkasihani difabel secara berlebihan.
Padahal yang dibutuhkan difabel adalah persamaan akan pemenuhan hak-haknya yang telah ada secara kodrati, termasuk yang paling utama adalah dalam upayanya mengembangkan identitas diri melalui pendidikan.

Pendidikan bagi difabel selama ini terkonsentrasi pada Sekolah Luar Biasa (SLB). Jika ditilik lebih jauh, pendidikan dengan model segresi semacam ini, sama saja semakin menjauhkan difabel dari kehidupan masyarakat. Padahal difabel butuh normalisasi dibalik perbedaan kemampuannya (different abilty-difabel). Thomas dan Pierson (1996) mendefinisikan normalisasi sebagai konsep yang memberi penekanan terhadap keinginan individu difabel untuk hidup dengan cara hidup yang hampir sama dengan anak normal. Normalisasi di sini tidak dimaksud membuat mereka menjadi sperti orang lain yang normal, tapi lebih ditekankan pada aktifitas pemenuhan kebutuhan fisik, social dan psikologis.

Namun, di sisi lain, tidak siapnya fasilitas pendukung di lembaga pendidikan umum belum sepenuhnya menjamin bagi pelaksanaan pendidikan inklusi. Jumlah mahasiswa difabel di UGM memang belum diketahui secara pasti, namun yang pasti jumlahnya tak seberapa. Hal ini diperparah dengan ketiadaan fasilitas yang tidak aksesible bagi difabel.

Salah satunya adalah bentuk bangunan yang tidak aksesible terhadap difabel, seperti bentuk tangga yang masih berupa undak-undakan, hingga ketiadaan penyedia informasi dalam bentuk khusus bagi difabel sesuai dengan kemampuannya.

Di sisi lain, factor non fisik juga patut menjadi sorotan. Jangankan ada jalur khusus bagi difabel untuk menjadi mahasiswa di kampus biru ini, kurikulum pun seringkali tidak mampu mengakomodasi kebutuhan difabel. Hal ini berbeda dengan beberapa universitas yang telah memiliki kesadaran dan konsensus tentang pentingnya pendidikan inklusi dan anti dikriminasi. Seperti yang ditunjukan UIN Sunan Kalijaga dan Univeritas Barawijaya yang telah mendirikan Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD). Meski sampai sekarang dampaknya belum terasa, namun sebuah langkah yang patut diapresiasi. Lalu, bagaimana dengan UGM?

Perlu adanya kesadaran dari setiap civitas akademika UGM tentang pentingnya pendidikan inklusi untuk memenuhi aspek rasa keadilan bagi difabel. Sebagai salah satu kampus terbesar yang selama ini juga dikenal sebagai kampus pancasila dan kerakyatan, besar harapan dapat menjadi piooner kebangkitan pendidikan inklusi di Indonesia, bahkan dunia.


(Afrianda & Mukhanif YY, Litbang Surat kabar Mahasiswa (SKM) Bulaksumur UGM)