haruskah aku tulis sebuah prasasti kerinduan
pada bait-bait musim
kala malammu memberiku untaian jejak-jejak purba yang tak sanggup sepoikan sepanjang semi?
dan
di penghentian jarak yang tak lagi aku nampakkan
pendar cahaya mulai menikam
menebas iringan ceracau sendu yang menasbihkan malam
bukankah telah aku suguhkan segelas teh hangat sebagai hidangan pembuka
tiap kali musim memulai
dari selubung altar kenang?
Yogyakarta, 29/9/11