Ketik di sini

Kamis, 18 Oktober 2012

Nutzen und Nachteil der Historie fur das Leben; Merenungi Sejarah!


Bayi berusia satu tahun bernama Yusuf itu menangis, tergeletak di areal pemakaman. Tubuhnya dikerubungi semut. Ia ditinggalkan begitu saja oleh orangtuanya..

Sayup-sayup, kalimat itulah yang aku baca dari Kompas, 14 Oktober 2012. Judul yang terlihat jelas di halaman utama. Tak perlu memicingkan mata. Atau memalingkan muka ke Palestina, bahkan Amerika, “KASIIH SAYANG BAGI YANG TERBUANG”. Sengaja aku tulis judul tersebut dengan cetak tebal. Agar Anda  tak lagi bebal. Sengaja aku tulis kapital, kelak Anda adalah orang yang tak menjadi tumbal  berikutnya. Sebab, anda juga dapat dikatakan “produk” yang gagal. Sengaja aku tulis di sini. Agar kalian sangggup membaca nurani.

Aku tulis coretan ini dengan di temani langit gelap, berkabut.  Meski aku sendiri sangsi akan kehadiran gerimis sekalipun. Usai menyusuri jalanan malam. Jalanan yang tiada merdeka akan warta sunyi. Selalu ada kenormalitasan di dalamnya. Selalu ada dominasi di dalamnya. Dan selalu ada yang tersingkir dari liang pastoral, terusir dari pergulatan antara debu dan batu-batu.  Kubangan lumpur menggembur, siap membenamkan siapa saja yang abnormal, bahkan yang papa dan binal. Hidup sama saja bertaut jurang maut.

Yusuf, lahir dalam keadaan Celebral Plassy, adalah salah satu potret dalam baying-bayang kuasa kenormalitasan. Dimana yang “tercipta” tidak sama, dalam bentuk lain, yang berbeda atas masyarakat dominan, ia adalah yang “cacat’. Tak layak mendapat tempat. Tentu saja, banyak yusuf-yusuf lain yang bertebaran di negeri yang “kaya raya”, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. bertuhankan Yang Maha Esa. Berkeadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Kini, akankah dengan air mata layak aku katakan itu sekadar retorika?

Ini bukan sembarang air mata yang luruh bersamaan secangkir kopi. Meski bukan tongkrongan di starbucks, Mc Donlad, ataupun KFC, sebab aku tak pernah singgah di sini. Tongkronganku hanyalah di angkringan atau bujo yang tiada bernama. Yang aku ingat, tempat itu berteduh dibawah pohon bungur. Merindukanku akan sosok ibu yang senantiasa bertafakkur. Ada harga tersendiri dibandingkan kemiskinan negeri ini. kita memang miskin, bahkan tubuh dan nama yang melekat pada diriku sendiri juga miskin. Namun, bukan berarti setiap air mata adalah sia-sia. Maka aku kembali teringat sore itu. suatu saat senja menunggu. Bersama orang-orang hebat, dalam pandanganku…

Sore masih memperlihatkan mataharinya yang beranjak kemuning jingga kecerahan ketika kami berteduh di bawah pohon sawo kecik. Tak jauh dari Rektorat UGM. tangan kananku memegang secarik kertas dengan judul yang mencolok “(Outline) Proposal Launching Forum Mahasiswa Difabel dan Partners UGM dan Seminar Nasional dengan Tema ‘Menggugat Peran Mahasiswa dalam Isu Pendidikan Difabel’”.

Aku tidak sendiri, ada lima orang hebat yang turut hadir di tengah segala keterbatasan dan kepahitan yang menghiasi dunia yang kecil dan marginal ini. Karim, mahasiswa Fakultas Hukum UGM yang luar biasa hebat. Ia hanya memiliki tiga jari dalam keadaan tak sempurna di masing-masing kedua tangannya. Untuk menulis-pun ia menggunakan tangan kiri. Kedua tangan yang tak proposional dibandingkan dengan orang-orang di sekelilingnya. Ia, dengan segala keterbatasan dan kepercayaan diriannya, sanggup lolos di UGM lewat jalur undangan. Salut!!

Yang lebih membuatku “bangga”, ia senantiasa sanggup masuk 10 besar di SMA umum, tempat di mana semuanya adalah anak-anak normal.

Ada juga Havist, penyandang tuna daksa pada kakinya. Terharu sekali aku mendengar kisahnya. Bagaimana perjuangannya mengikuti perkuliahan di Juruan Ilmu Komputer UGM. juga keikhlasan teman-temannya yang rela menggendong Havist menaiki dan menuruni tangga. Tidak ada lift di kampusnya, karena sebagian besar gedung-gedung UGM yang memiliki lift adalah gedung yang relaitf baru. Sedangkan gedung perkuliahannya adalah gedung yang sudah berumur. Maka tak ada jalan lain selain ia harus menerima apa adanya.

Lalu aku. Setidaknya aku tak perlu mengisahkan lagi tentangku. Bukan karena aku adalah artis, atau apa.sebab aku juga bukan siapa-siapa. aku bagian dari mereka. Yang pasti, Anda mungkin sudah tahu tentangku, namun yang perlu Anda tahu adalah mereka yang selain aku. Mereka yang direhabilitasi selayaknya orang yang mengidap penyakit jiwa. Mereka yang dipasung. Mereka yang dibuang. Mereka yang ditolak sekolah ,ditolak masuk universitas, ditolak kerja karena tidak memenuhi kriteria “SEHAT JASMANI DAN ROHANI!”.

Justru, kali ini aku akan mengisahkan orang-orang hebat yang lain. Kali ini adalah Pu’is Hidayatin (Fakultas Kedokteran UGM), Rico Fernando Mulia Siregar (Filsafat UGM), dan Lee Waren Teguh Napitupulu (Tenik Kimia UGM). mereka adalah mahasiswa normal, relawan yang sanggup membuka mata dan hati nuraninya. Mereka yang turut hadir dalam acara membahas salah satu impianku, berbagi terhadap sesama. Sesuatu yang aku mulai dari lingkungan terdekatku.

Meraka adalah yang sore itu bisa membuatku tersenyum. Mereka memang tidak seperti kami, aku (tuna rungu), Karim dan Havist (tuna daksa). Mereka adalah mahasiswa yang mendapat predikat “sempurna”, meski aku sendiri seringkali sangsi akan makna kesempurnaan yang selama ini menstigma di dalam laci pikiran masyarakat. Karena aku senantiasa percaya, kesempurnaan hanya milik-Nya.

Namun, kali ini aku akan berkata mereka, Pu’is, Rico, Mas Waren, adalah orang-orang yang melebih kesempurnaan seorang manusia. mereka bergabung dengan Mas Reza Bayu V, Faizzana Izahanni, Mba Lita, Mba Qurratul A’yun Ahmada, Mbak Dania, Okky Carolina, dan beberapa nama yang tidak dapat saya sebut satu persatu. mereka, mahasiswa normal/non-difabel, yang  kini tercatat sebagai relawan organisasi komunitas yang baru aku dirikan “Forum Mahasiswa Difabel dan Partners”. Sebuah organisasi komunitas yang sejak setahun lalu aku rancang, dengan segala keterbatasan. Dan kadangkala dengan sepotong keegoisan, mengkorbankan tanggung jawab yang mesti dikerjakannya. .

Usai membaca Kompas hari ini, aku kembali berkutat dalam bayang-bayang kabut. Gerimis memang tak kunjung tiba. Tapi kali ini aku ditemani Nietzche. Yang kembali mengingatkanku pada sejarah mereka yang terpinggirkan. Akibat dari konstruksi social yang sudah kadung tercatat sebagai sejarah. sejarah telah lama mengendap dan basah. bahkan terpajang sebagai sebuah monumen sejarah. tak kalah megah dengan monas yang ganas. bahkan hingga menyeret orang sekelas Anas. ^_^

Nutzen und Nachteil der Historie fur das Leben. Perenungan pada kegunaan dan kergian sejarah lewat Die Geburt der Tragedie. Sejarah adalah apa yang terkonstruksi sedemikian rupa, dalam kuasa kenormalitasan. Lalu, sampai kapankah kita senantiasa berada dalam baying-bayang kenormalitasan? Mungkinkah menunggu Sangkakala mengaum dari Isrofil?

Nietzche memang –dikenal- sosok yang tak beragama. Namun bukan berarti kitidakber-agama-an senantiasa minus kebenaran. karena setiap manusia tidak ada yang sempurna. selalu asa plus-minusnya. tinggal bagaimana kita memfilternya. Dan bukan berarti, pengutipan ini aku termasuk orang tak beragama. Aku –Insya Allah- senantiasa menjaga agamaku. Sebab, malam ini aku juga berteman dengan “Cara Cepat Bisa Menghafal Al Qur’an” karangan hafidzah Wiwi Alawiyyah  W, Al Mausu’atul Qur’aniyyatul Muyyasarah-nya DR Wahbah Zhuaili (buku hadiah dari bapak), serta Kitab Bahjatunnadhar yang baru saja aku dapat dari teman.

Aku justru berpikir, “orang beragama bukan berarti ia suci dari ketidakber-agama-an di mata-Nya?”


Yogya, 14 Oktober 2012

Senin, 15 Oktober 2012

Nutzen und Nachteil der Historie fur das Leben; Merenungi Sejarah!

Bayi berusia satu tahun bernama Yusuf itu menangis, tergeletak di areal pemakaman. Tubuhnya dikerubungi semut. Ia ditinggalkan begitu saja oleh orangtuanya..

Sayup-sayup, kalimat itulah yang aku baca dari Kompas, 14 Oktober 2012. Judul yang terlihat jelas di halaman utama. Tak perlu memicingkan mata. Atau memalingkan muka ke Palestina, bahkan Amerika, “KASIIH SAYANG BAGI YANG TERBUANG”. Sengaja aku tulis judul tersebut dengan cetak tebal. Agar Anda  tak lagi bebal. Sengaja aku tulis kapital, kelak Anda adalah orang yang tak menjadi tumbal  berikutnya. Sebab, anda juga dapat dikatakan “produk” yang gagal. Sengaja aku tulis di sini. Agar kalian sangggup membaca nurani.

Aku tulis coretan ini dengan di temani langit gelap, berkabut.  Meski aku sendiri sangsi akan kehadiran gerimis sekalipun. Usai menyusuri jalanan malam. Jalanan yang tiada merdeka akan warta sunyi. Selalu ada kenormalitasan di dalamnya. Selalu ada dominasi di dalamnya. Dan selalu ada yang tersingkir dari liang pastoral, terusir dari pergulatan antara debu dan batu-batu.  Kubangan lumpur menggembur, siap membenamkan siapa saja yang abnormal, bahkan yang papa dan binal. Hidup sama saja bertaut jurang maut.

Yusuf, lahir dalam keadaan Celebral Plassy, adalah salah satu potret dalam baying-bayang kuasa kenormalitasan. Dimana yang “tercipta” tidak sama, dalam bentuk lain, yang berbeda atas masyarakat dominan, ia adalah yang “cacat’. Tak layak mendapat tempat. Tentu saja, banyak yusuf-yusuf lain yang bertebaran di negeri yang “kaya raya”, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. bertuhankan Yang Maha Esa. Berkeadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Kini, akankah dengan air mata layak aku katakan itu sekadar retorika?

Ini bukan sembarang air mata yang luruh bersamaan secangkir kopi. Meski bukan tongkrongan di starbucks, Mc Donlad, ataupun KFC, sebab aku tak pernah singgah di sini. Tongkronganku hanyalah di angkringan atau bujo yang tiada bernama. Yang aku ingat, tempat itu berteduh dibawah pohon bungur. Merindukanku akan sosok ibu yang senantiasa bertafakkur. Ada harga tersendiri dibandingkan kemiskinan negeri ini. kita memang miskin, bahkan tubuh dan nama yang melekat pada diriku sendiri juga miskin. Namun, bukan berarti setiap air mata adalah sia-sia. Maka aku kembali teringat sore itu. suatu saat senja menunggu. Bersama orang-orang hebat, dalam pandanganku…

Sore masih memperlihatkan mataharinya yang beranjak kemuning jingga kecerahan ketika kami berteduh di bawah pohon sawo kecik. Tak jauh dari Rektorat UGM. tangan kananku memegang secarik kertas dengan judul yang mencolok “(Outline) Proposal Launching Forum Mahasiswa Difabel dan Partners UGM dan Seminar Nasional dengan Tema ‘Menggugat Peran Mahasiswa dalam Isu Pendidikan Difabel’”.

Aku tidak sendiri, ada lima orang hebat yang turut hadir di tengah segala keterbatasan dan kepahitan yang menghiasi dunia yang kecil dan marginal ini. Karim, mahasiswa Fakultas Hukum UGM yang luar biasa hebat. Ia hanya memiliki tiga jari dalam keadaan tak sempurna di masing-masing kedua tangannya. Untuk menulis-pun ia menggunakan tangan kiri. Kedua tangan yang tak proposional dibandingkan dengan orang-orang di sekelilingnya. Ia, dengan segala keterbatasan dan kepercayaan diriannya, sanggup lolos di UGM lewat jalur undangan. Salut!!

Yang lebih membuatku “bangga”, ia senantiasa sanggup masuk 10 besar di SMA umum, tempat di mana semuanya adalah anak-anak normal.
Ada juga Havist, penyandang tuna daksa pada kakinya. Terharu sekali aku mendengar kisahnya. Bagaimana perjuangannya mengikuti perkuliahan di Juruan Ilmu Komputer UGM. juga keikhlasan teman-temannya yang rela menggendong Havist menaiki dan menuruni tangga. Tidak ada lift di kampusnya, karena sebagian besar gedung-gedung UGM yang memiliki lift adalah gedung yang relaitf baru. Sedangkan gedung perkuliahannya adalah gedung yang sudah berumur. Maka tak ada jalan lain selain ia harus menerima apa adanya.

Lalu aku. Setidaknya aku tak perlu mengisahkan lagi tentangku. Bukan karena aku adalah artis, atau apa.sebab aku juga bukan siapa-siapa. aku bagian dari mereka. Yang pasti, Anda mungkin sudah tahu tentangku, namun yang perlu Anda tahu adalah mereka yang selain aku. Mereka yang direhabilitasi selayaknya orang yang mengidap penyakit jiwa. Mereka yang dipasung. Mereka yang dibuang. Mereka yang ditolak sekolah ,ditolak masuk universitas, ditolak kerja karena tidak memenuhi kriteria “SEHAT JASMANI DAN ROHANI!”.

Justru, kali ini aku akan mengisahkan orang-orang hebat yang lain. Kali ini adalah Pu’is Hidayatin (Fakultas Kedokteran UGM), Rico Fernando Mulia Siregar (Filsafat UGM), dan Lee Waren Teguh Napitupulu (Tenik Kimia UGM). mereka adalah mahasiswa normal, relawan yang sanggup membuka mata dan hati nuraninya. Mereka yang turut hadir dalam acara membahas salah satu impianku, berbagi terhadap sesama. Sesuatu yang aku mulai dari lingkungan terdekatku.

Meraka adalah yang sore itu bisa membuatku tersenyum. Mereka memang tidak seperti kami, aku (tuna rungu), Karim dan Havist (tuna daksa). Mereka adalah mahasiswa yang mendapat predikat “sempurna”, meski aku sendiri seringkali sangsi akan makna kesempurnaan yang selama ini menstigma di dalam laci pikiran masyarakat. Karena aku senantiasa percaya, kesempurnaan hanya milik-Nya.

Namun, kali ini aku akan berkata mereka, Pu’is, Rico, Mas Waren, adalah orang-orang yang melebih kesempurnaan seorang manusia. mereka bergabung dengan Mas Reza Bayu V, Faizzana Izahanni, Mba Lita, Mba Qurratul A’yun Ahmada, Mbak Dania, Okky Carolina, dan beberapa nama yang tidak dapat saya sebut satu persatu. mereka, mahasiswa normal/non-difabel, yang  kini tercatat sebagai relawan organisasi komunitas yang baru aku dirikan “Forum Mahasiswa Difabel dan Partners”. Sebuah organisasi komunitas yang sejak setahun lalu aku rancang, dengan segala keterbatasan. Dan kadangkala dengan sepotong keegoisan, mengkorbankan tanggung jawab yang mesti dikerjakannya. .

Usai membaca Kompas hari ini, aku kembali berkutat dalam bayang-bayang kabut. Gerimis memang tak kunjung tiba. Tapi kali ini aku ditemani Nietzche. Yang kembali mengingatkanku pada sejarah mereka yang terpinggirkan. Akibat dari konstruksi social yang sudah kadung tercatat sebagai sejarah. sejarah telah lama mengendap dan basah. bahkan terpajang sebagai sebuah monumen sejarah. tak kalah megah dengan monas yang ganas. bahkan hingga menyeret orang sekelas Anas. ^_^

Nutzen und Nachteil der Historie fur das Leben. Perenungan pada kegunaan dan kergian sejarah lewat Die Geburt der Tragedie. Sejarah adalah apa yang terkonstruksi sedemikian rupa, dalam kuasa kenormalitasan. Lalu, sampai kapankah kita senantiasa berada dalam baying-bayang kenormalitasan? Mungkinkah menunggu Sangkakala mengaum dari Isrofil?

Nietzche memang –dikenal- sosok yang tak beragama. Namun bukan berarti kitidakber-agama-an senantiasa minus kebenaran. karena setiap manusia tidak ada yang sempurna. selalu asa plus-minusnya. tinggal bagaimana kita memfilternya. Dan bukan berarti, pengutipan ini aku termasuk orang tak beragama. Aku –Insya Allah- senantiasa menjaga agamaku. Sebab, malam ini aku juga berteman dengan “Cara Cepat Bisa Menghafal Al Qur’an” karangan hafidzah Wiwi Alawiyyah  W, Al Mausu’atul Qur’aniyyatul Muyyasarah-nya DR Wahbah Zhuaili (buku hadiah dari bapak), serta Kitab Bahjatunnadhar yang baru saja aku dapat dari teman.

Aku justru kepikiran, “orang beragama bukan berarti ia suci dari ketidakber-agama-an di mata-Nya?”

Yogya, 14 Oktober 2012

Senin, 24 September 2012

BINGKISAN PERTAMA DAN -semoga bukan- TERAKHIR



“Mukhanif Yasin Yusup!”

Sontak. Aku terkejut ketika namaku dipanggil pada sesi akhir upacara bendera hari senin. Seketika juga, tepuk tangan bergemuruh. Membelah pagi yang masih dingin berselimut embun, khas pedesaan yang tak terlalu jauh dari pegunungan. Sedangkan di sisih barat, Gunung Slamet, gunung tertinggi di Pulau Jawa, dengan angkuh menunjukan kemolekannya. Barangkali ada sedikit perbedaan mengenai nama yang tertulis. Entah karena kesalahan, atau memang sebuah kebiasaan. Nama akhirku sebenarnya “Yusuf”,bukan seperti yang diutarakan bapak kepala sekolah;Yusup. Pun, teman-teman dan orang sekitarku telah terkonstruksi memangil “Hanip” daripada “Hanif”. Begitu juga nama bapak, yang seharusnya “Yusuf” akan tetapi lebih sering orang-orang memanggilnya “Yusup”. Dan yang lebih menggelikan, di raporku nama bapak tertulis “Yasin Yusuf”, barangkali pihak sekolah mengira nama akhirku adalah “warisan” bapak. Meski akhirnya bapak mencoret kata “Yasin” dan menggantinya dengan “Luqman”. Jadilah, yang tertulis adalah “Luqman Yusuf”. Dialah bapakku, sosok yang kelak memberiku warna tentang kehidupan, sekaligus juga membimbing dan menuntunku mempelajari kematian demi kematian.

Seketika juga, aku maju ke depan. Berbarengan dengan adik kelasku yang masih kelas empat yakni, Khaezatun Ni’mah, atau yang biasa dipanggil Nunik yang masih saudara sepupuku. Kami mendapat bingkisan yang berisi dua buah buku tulis.
Itulah yang pertama dan terakhir dalam hidupku, sejauh ini. Ya, sejauh ini. Pertama dan terakhirnya aku mengkiuti lomba tilawah. Kenangan yang terjadi saat aku duduk di kelas lima SD ini, adalah kenangan yang kelak tak akan pernah, tak pernah aku harap untuk terlupakan. Kenangan yang kadangkala mengembalikan memoriku untuk menyusuri lorong-lorong masa lalu.

Bingkisan sebagai hadiah memang tak begitu besar, hanya dua buah buku tulis. Jika mengingatnya saya kadang-kdang akan tersenyum sendiri.
“Cuma dua buku tulis?” kata kakakku. Entah bercanda atau ada maksud lain.
Namun, kini “bingkisan” itu menjadi salah satu hal yang sangat berharga bagi hidupku. Itulah yang pertama dan terakhirnya, sejauh ini. ya, sejauh ini. barangkali tak pernah terbayangkan, jika sekitar satu tahun kemudian cobaan yang begitu besar, sedemikian dahsyat, menghampiriku. Ya, mungkin engkau tak pernah membayangkan, bagaiamana seorang bocah sebelas tahun harus menghadapi kenyataan atas sebuah garis yang ditakdirkan-Nya. Kehilangan pendengaran, menjadi seorang tuna rungu, bukanlah cita-cita. Membayangkan pun tidak. Yang aku bayangkan adalah bagaimana menggantikan posisi bapak. sebagaimana yang tekah diamanatkannya.

Praktis, setelah kehilangan pendengaran aku sama sekali tak bersentuhan dengan Al Qur’an. Tak lagi mengaji kepada bapak ba’da maghrib. Padahal, ada puluhan teman-temanku yang mengaji kepada bapak di rumahku, sebgai sebuah kegiatan rutin yang aku sendiri tak ingat kapan mulainya. Memang, ada kesulitan tersendiri bagiku. Sistem pengajarannya memakai sistem lisan, tentu saja aku tak sanggup. Namun, orang tua telah mewajibkan kami, anak-anaknya, untuk membaca surah Yaasin tiap malam jum’at. Hingga aku dan saudara-saudaraku pun hafal surah yang memiliki banyak manfaat ini. sesakli di tambah surah AL Waqi’ah dan Al mulk.

Dulu, ada harapan besar dari seorang bapak yang disemayamkan dipundakku. Menggantikan posisinya adalah sesuatu yang sangat diharapkannya, ssuatu yang didambakannya. Namun, seperti sebuah kalimat yang selalu aku ingat “hidup tak seindah alur dalam dongeng”, begitulah pepatah yang layak disematkan dalam kisah perjalananku.

Namun, aku bersyukur. Sebelum mengalami cobaan ini, sebagai seorang tuna rungu, aku telah menamatkan Madrasah Diniyah Taklimiyyah Awaliyyah yang dihabiskan dalam jangka waktu empat tahun. Meski menjadi lulusan termuda, dengan usia belum genap 10 tahun ,sedangkan teman seangkatan sudah ada yang masuk SMP, aku pantas bersykur menjadi lulusan terbaik. Bahkan, aku satu-satunya yang cowok alias laki-laki, ^_^. Jika diakui, minoritas sebagai satu-satunya laki-laki tidak terlepas dari sosok seorang bapak. didikan agamanya sedemikian keras, hal ini tidak lain karena bapak berkali-kali menasihati kami “Dadi anake bapak kuwe kudu bisa dicontoh wong-wong lia, aja nganti gawe isin bapak” (jadi anaknya bapak itu harus bisa jadi teladan orang lain/masyarakat, jangan sampai membuat malu bapak ”.
Memang, semua nasihat bapak terkonstruksi sendiri , sebuah ruang yang terbentuk dari adat istiadat yang masih terpelihara. Semua terkait posisi bapak di kampung.
Meski membutuhkan proses yang relative panjang, sekitar dua tahun untuk bangkit dari keterpurukanku, aku bersyukur telah kembali seperti semula, meski dalam format yang berbeda. Akibat dari keadaan yang tak memungkinkan, aku hanya mengaji sendiri, meski jika diakui secara jujur intensitasnya belum sebarapa. Bahkan bisa dibilang sangat minim.

Berbeda dari saudara-saudaraku yang usai lulus SD diwajibkan nyantri di pondok pesantren sambil melanjutkan ke SMP atau MTs, mengikuti jejak bapak. Akibat dari kondisiku yang tidak memungkinkan, aku hanya melanjutkan ke MTs Negeri di kota kecamatan. Di mana semua siswanya adalah normal semua. Namun, bukan berarti aku tak mencintai agamaku, Islam. Pelajaran yang paling aku suka selain matematika adalah Al Qur’an dan Hadits. Lewat Al Qur’an dan Hadits inilah, aku bisa memperdalam pengetahuanku yang tak sempat aku dapatkan semenjak tuna rungu, termasuk bagaiamana membaca Al Qur’an yang baik dan benar.

Untuk melakukan tilawah, mengulang prestasi yang didapat saat kelas lima SD, barngakali adalah sesuatu yang tidak mudah, bahkan sesuatu yang sangat sulit. Untuk itulah, aku mengambil jalan lain. Aku belajar menulis kaligrafi secara otodidak. Kebetulan, di rumah nenek terdapat buku contoh kaligrafi milik pamanku saat masih nyatri di sebuah pondok pesantren. Aku pun meminjamnya, meski sampai sekarang belum dikembalikan, ^_^…

Dan aku bersyukur, saat di MTs Negeri, aku mendapat kepercayaan untuk membuat beberapa kaligrafi yang hendak dipajang di kelas, terutama saat-saat kenaikan kelas. Hal ini berlanjut saat SMA. Dan saat ada kompetisi lomba kaligrafi untuk memperingati HUT RI tingkat sekolah, aku pun optimis dapat menjadi yang terbaik. Dan Alhamdulillah, akhirnya sesuai harapan. Meski kini tak pernah lagi membuat kaligrafi, sekedar sesekali corat-coret di buku tulis aku sempat bertanya, adakah klub/komunitas kaligrafi di Jogja??

“Bingkisan” yang hanya berisi dua buah buku tulis yang kuperoleh saat kelas 5 SD, akan selalu saya kenang. Itulah, “bingkisan” yang -mungkin- pertama dan terakhir bagi hidupku. “bingkisan” yang kelak aku tak tahu, apakah aku dapat mengulanginya. Namun, aku sedang berusaha…

yang pasti, aku tak pernah kecewa terhadap kondisiku, bahwa apapun yang terjadi adalah yang terbaik bagi umat-Nya. Dan jalan menuju-Nya, dapat dilalui dengan beragam jalur yang berbeda. Aku yakin akan hal itu..

(to be continued…^_^

Belajar tentang Keikhlasan



Pernahkah dalam hidup kita merasa kehilangan? Saya yakin, setiap orang pasti pernah mengalaminya, tanpa kecuali. Entah kehilangan yang bersifat materi maupun non-materi. Hanya saja, reaksi setiap orang sudah pasti berbeda-beda. Sebab, tidak ada satupun mahluk-Nya yang diciptakan dalam skala yang sama, meski dalam ujud atom terkecil.

Dalam satu sisi, seseorang sanggup menerima kehilangan tersebut. Di sisi lain ia tak sanggup menerimanya. Bahkan seringkali atas nama kehilangan kita mengutak-atik eksistensi kuasa-Nya. Karena itulah, pada hakikatnya kehilangan dikorelasikan dengan keikhlasan. Ya, belajar untuk menerima dan berserah diri atas segala kehendak-Nya. Sebab, apa yang terjadi adalah yang terbaik bagi umat-Nya dan Allah tidak menguji kita selain dalam batas keimanan yang kita miliki.

Namun, sebuah ironi ketika hidup dalam kungkungan keduniawiaan segala tolok ukur didasarkan pada materi yang kita miliki. Alhasil, orientasi hidup kita lebih tertuju pada kepuasaan nafsu dibandingkan ketentraman iman dan kedamaian bathin.

Tak sedikit, hanya persoalan sepele kita sudah secara terang-terangan mengutuk dan menggugat keberadaan Tuhan. Kita pernah kehilangan apa yang kita miliki, akan tetapi masih banyak dari kita tak mampu untuk belajar menerimanya, belajar tentang keikhlasan. Entah kehilangan harta-benda, orang-orang yang kita cintai, atau sesuatu yang mendapat predikat ke-Aku-an.

Bagi saya sendiri keikhlasan (beserta kesabaran) adalah kunci utama dalam hidup saya. Sebagai seseorang yang berada dalam keterbatasan ekonomi, bagi sebagian besar orang di era serba pragmatis seperti sekarang ini kunci kebahagiaan lebih dititikberatkan pada segala hal yang berbau materi. Namun, hal itu bukanlah sesuatu yang berlaku bagi kamus hidup saya. Setidaknya, saya mencoba untuk demikian.

Saya pernah kehilangan uang dan beberapa barang berharga yang ditaksir sampai 1,5 juta akibat tingkah laku “teman” yang tak bertanggug jawab saat baru beberapa bulan merantau di Yogyakarta sejak berstatus sebagai mahasiswa. Orang tua dan keluarga pun menyalahkan saya. Kenapa? Uang tersebut niatnya mau dipakai untuk membayar hutang pada kakak ipar saat saya melakukan registrasi sebagai mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi ternama di Kota Pelajar ini.

Bagi kami, jumlah 1,5 juta adalah jumlah yang tidak kecil. Toh, pada akhirnya saya mencoba meyakinkan orang tua, bahwa Allah pasti akan mengganti dengan sesuatu yang lebih dari apa yang telah hilang.

Mungkin, bagi sebagian orang akan menganggap adalah hal yang aneh, tak masuk akal, dan sejenisnya, saat saya bersikap tenang-tenang saja ketika kehilangan uang dalam jumlah “besar. Akan tetapi bagi saya, tolok ukur bukanlah dari sisi materi. Sebab, saya yakin segala sesuatu adalah milik-Nya dan akan kembali jua pada-Nya. Jadi, sang pemilik bukanlah kita, akan tetapi sang Rabb, Tuhan Kita; Allah Azzawajala.

Sebenarnya, apa yang membuat saya bersikap demikian. Baiklah, akan saya ceritkan sedikit tentang ini.

Saya pernah kehilangan sesuatu yang lebih besar, bahkan dapat dikatakan sebagai hal yang sebelumnya saya anggap paling berharga. Siapa yang menginginkan hidup dalam kematian? Tentu saja, tidak ada yang mengingnkan hal itu singgah dan bersemayam dalam kanvas hidupnya.

Namun, ketika Dia telah berbicara dengan sebuah takdir, maka dengan kun fayakun segalanya pun terjadi. Begitu juga saat Allah memberi saya cobaan saat berusia sebelas tahun. Cobaan yang cukup besar bagi bocah seusia saya waktu itu. ya, saya mengalami deaf/tuna rungu saat berusia sebelas tahun.

Dalam masa awal, saya seolah berada dalam kematian hidup, tak ada harapan, juga arah hidup yang akan saya tuju. Yang saya raskan hanyalah sebuah kekosongan, kesunyian, dan semacamnya. Inilah, sebuah kehilangan terbesar bukan hanya bagi saya, tapi juga orang tua. Orang tua mana yang tak merasa tersayat-sayat melihat buah hatinya yang masih kanak-kanak, masih belum mampu mengenali dan menemukan identitasnya? Dan bagaimana jika Anda berada dalam posisi saya?

Imbasnya, saya memutuskan untuk keluar sekolah meski sudah menginjak kelas enam SD. Selama itu pula saya hanya meratapi kehilangan ini. namun, seiring berjalannya waktu saya mulai belajar tentang kehilangan. semua itu berkat didikan agama yang cukup keras dari orang tua. Mungkin jika Anda berada dalam posisi saya, Anda merasa bosan. Bayangkan, sejak berusia lima tahun saya hanya memiliki kesempatan bermain sangat minim, tidak seperti teman-teman yang lain. Pagi duduk di bangku SD, siang sampai sore harus sudah berada di Madrasah Diniyah Taklimiyah Awaliyah untuk memperdalam ilmu Agama. Bahkan, menginjak kelas akhir, saya satu-satunya yang laki-laki dan seingat saya saat menginjak kelas akhir saya hanya absen satu kali.

Namun, sekarang justru saya sangat bersyukur atas semua itu. karena saya dapat belajar atas kehilangan, belajar tentang keihlasan. Kini, saya tak lagi menganggap kehilangan pendengaran saya sebagai sebuah kematian hidup. Akan tetapi adalah ujian bagi keimanan saya.

“Cobaan ini tidak hanya ujian bagimu, tapi juga bagi saya”

Itulah perkataan Ibu beberapa waktu lalu. Saya bersyukur atas segala nikmat-Nya. Seiring berjalannya waktu, dua tahun kemudian saya kembali masuk sekolah dan langsung duduk di kelas enam. Saya menganggap selama dua tahun itu adalah waktu yang saya butuhkan untuk beradaptasi dengan dunia saya yang baru. sebab, kita pasti tahu, semuanya membutuhkan proses, dan proses itu tak ada yang insstan. suka dan suka senantiasa menghampiri. Dulu saya tidak berpikiran untuk menganyam pendidikan sampai sejauh ini. Dulu, kuliah bagi saya tidak ada dalam benak saya, bahkan mengenyam pendidikan sampai Madrasah Tsanawiyah (MTs) pun tak pernah terpikirkan. Bagi saya, cukuplah saya dapat “bertahan” hidup dengan apa yang masih saya miliki.

Memang ,dulu banyak yang meragukan saya, terutama karena kondisi saya. Begitu juga ketika saya memutuskan melanjtkan ke sebuah SMA swasta yang selama ini dianggap masih pinggiran. Banyak yang menganggap tak masuk akal karena saya mengenyam di MTs Negeri, selalu stabil mendapat peringkat satu-dua sejak kelas satu sampai tiga, bahkan masuk lima besar diantara 260-an lulusan yang semuanya adalah siswa normal saat kelulusan UN. Itu semua atas saran bapak, dan saya percaya bahwa ridha Allah terletak pada ridha kedua orangtuanya.

Toh, pada akhirnya saya mencoba membuktikan bahwa semua pada hakikatnya adalah sama, yang membedakan adalah diri kita sendiri. Kini, saya bersyukur atas semua nikmat yang telah diberikan-Nya.

Saya mencoba belajar dari kehilangan “terbesar” dalam hidup saya. Dan bagi saya kehilangan yang bersifat non-materi justru adalah sesuatu yang lebih sulit dibandingkan dengan kehilangan sesuatu yang bersifat materi. Kehilangan 1,5 juta yang saya alami Allah ganti dengan sesuatu yang memiliki nilai lebih. Siapa yang tak pantas bersyukur mendapat beasiswa penuh dan uang saku selama empat tahun di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Siapa yang pantas mengingkari nikmat-Nya ketika mendapat penginapan dan biaya makan gratis selama merantau di Kota Gudeg. Dan satu lagi, apakah saya pantas mengingkari-Nya ketika seseorang yang dengan ikhlas membantu saya untuk memulihkan pendengaran saya yang membutuhkan dana yang saya taksir mencapa 4 juta lebih?

Suatu malam, saat mengayuh sepeda menuju ke kampus, saya berpapasan dengan seorang pemuda. Dengan langkah gontai ia menghampiri saya. Karena kondisi gelap, saya tidak mampu membaca gerak bibir si pemuda tadi. Karena sejak kehilangan pendengaran mengandalkan gerak bibir dan sebuah tulisan untuk memahami lawan bicara. Akhirnya,saya meminta dia menuliskan sesuatu di secarik kertas.

“Mas, Saya butuh uang buat makan dan beli obat buat nenek saya. Kami sudah dua hari nggak makan karena buat beli obat. Sejak siang saya meminta ke orang-orang di sekitar sini, tapi belum dapat. Kalau ada pekerjaan dan Bapak-Ibu saya masih hidup, saya tidak akan meminta-minta seperti ini”

Mengingat kondisi gelap, dengan penerangan Hp butut warisan kakak, saya membaca rangkaian kata yang ada di secarik kertas tersebut. Saya mencoba mengetes kebenaran realitas yang dialami pemuda tadi. Pemuda itu mengaku putus SMP, hidup berdua dengan nenek yang sakit-sakitan, pekerjaannya adalah sebagai pemulung. Saya meminta alamatnya secara detail untuk mengukur seberapa seriusnya pemuda tadi, mengingat saya pernah “mendengar” jutawan yang lahir dari meminta-minta. Pada, akhirnya saya pun mulai percaya usai pemuda itu bercerita panjang lebar.

Entahlah, saya mencoba belajar dari kehilangan “terbesar” bagi hidup saya. Saya mencoba belajar pada apa yang saya sebut sebagai luka dan air mata. Toh, luka dan air mata adalah aksesoris utama saya saat pertama kali kehilangan pendengaran saya. Meski pada akhirnya, saya mencoba untuk tidak meratapinya, akan tetapi menyikapinya dengan hal-hal yang bersifat positif. Dan perasaan saya tidak tega melihat luka yang dialami sesama.

Namun, yang menjadi masalah, ia membutuhkan limapuluh ribu, sedangkan saya hanya mempunyai tujuhpuluh ribu. Sedemikian lama saya terdiam sejenak, mengingat saya sangat membutuhkan uang tersebut. Bahkan saya masih membutuhkan uang tambahan untuk mencari kost baru karena kontrak kost sudah habis dan hendak pindah kost. Dan saya juga sudah tidak lagi mengandalkan orang tua sejak menginjak bulan kedua kuliah di Yogyakarta. Namun, dengan bismillah dan kemantapan hati saya mengikhlaskan uang limapuluh ribu ketangannya. Praktis, uang di dompet saya hanya tinggal duapuluhribu.

“terima kasih, mas. Semoga Mas mendapat balasan dari Allah”

Saya hanya mengangguk dan mengamini dalam hati. Dan. Subhanallah wal hamdulillah, seminggu kemudian saat saya mendapat kesempatan jadi pembicara di sebuah acara talkshow Allah menggantinya dengan jumlah yang lebih besar, mencapai lebih dari delapan kali lipat dibandingkan yang saya berikan kepada pemuda tadi. Ditambah lagi, tidak hanya balasan materi yang saya dapat, tapi nikmat non-materi yang saya dapatkan ketika berada diacara talkshow tersebut.

Kini, saya semakin yakin, kehilangan bukanlah sebuah akhir dari segalanya. Karena dunia ini beserta alam seisinya adalah milik-Nya. Begitu juga ketika saya kehilangan pendengaran saya, yang bagi Anda mungkin adalah sesuatu yang sangat berarti bagi hidup Anda. Justru saya merasa Allah telah memberikan semua yang jauh dari yang saya bayangkan. Bagi saya, kehilangan materi tidaklah seberapa jika dibandingkan kita kehilangan iman dan keyakinan kita. Kuncinya bagaimana kita belajar untuk ikhlas menerima apa yang Allah takdirkan pada kita. Saya tak merasa berbeda dari Anda hanya karena saya telah kehilangan pendangaran saya, karena semua manusia di mata-Nya adalah sama, yang membedakan adalah tingkat ketakwaannya.

Namun apakah realitas yang terjadi di sekeliling kita? Berapa banyak dari kita yang menggadaikan dan mengabaikan iman dan keyakinan hanya demi memburu kepuasaan materi (duniawi) semata? Dan apakah kita takut kehilangan sesuatu yang berwujud materi , apalagi saat-saat sedang mengalami kesulitan hingga menguras kesabaran? Bukankah rahmat Allah senantiasa sangat dekat dengan orang-orang yang sabar dan teraniaya? Dan saya mencoba memaknai bahwa “teraniaya” di sini adalah dalam konteks kekinian, yakni ketika kita dihadapkan pada cobaan, entah itu dalam kaitannya dengan hablum-minallah, maupn hablum-minannas. Tak semuanya dalam wujud “teraniaya” secara fisik, tetapi juga bathin, termasuk di dalamnya sebuah kehilangan …
Wallahu a’lam…

Antara Dulu dan Kini

(sekedar berbagi dan mencoba menginspirasi)

Dulu. Ya, dulu.. bagiku menginjakkan sepasang kakiku dan menetap di Yogyakarta adalah sesuatu yang tak pernah aku catat dalam buku harianku. Mengenyam di bangku kuliah adalah sesuatu yang tak pernah terlintas dalam benakku. Bertemu, berkawan, dan bergaul dengan orang-orang hebat dan inspiratif di univeritas negeri terbesar dan tertua di Indonesia adalah selaksa pungguk merindukan rembulan, tak pernah ada. Ya, tak pernah ada dalam pikiranku. Saat terjaga maupun tiada terjaga.

Dulu. Ya, dulu… Jauh dari orang tua dan hidup mandiri saat aku belum selesai mengeja tentang kehidupanku tak pernah terlintas dalam laci pikiranku. Mungkin saat yang lain duduk berlama-lama, bersantai ria di starbuck, bermanja dengan secangkir kopi hangat yang senantiasa mengepulkan simbol-simbol kehidupan yang gamblang, aku masih berkutat dalam pengembaraan yang entah dan tak…

Dulu. Ya, dulu… Mengenyam pendidikan di MTs Negeri bahkan adalah sesuatu yang sebelumnya tak pernah menyibukkan diri dalam pikiranku. Dan duduk di bangku SMA Ma’arif adalah sesuatu yang asing. Dan karena demikianlah, dulu aku adalah sosok yang senantiasa dianggap asing. Pula, sampai sekarang mungkin aku masih dan tetap akan berada dalam kaca mata asing. Atau memang aku yang mengasingkan diri? Entahlah…

Kini. Ya, kini. Aku senantiasa bertahmid, bertakbir pada Sang Rahman dan Rahiim, sembari melantunkan "fa bi ayyi alaa irabbikuma tukaddibaan"

Kini. Ya, kini. Aku semakin yakin bahwa apa yang terjadi adalah yang terbaik bagi umat-Nya. Entah Dia menghadirkan secangkir kopi kala kita mengantuk dalam kekosongan. Secangkir es kala kita tergolek dalam sahara. Atau. Saat Dia menghujamkan batu-batu cadas dan membubuhkan jalanan berkelok di depan kita. Semua itu. ya, aku katakan sekali lagi, semua itu tinggal bagaimana kita menyikapi dan memaknai esensi takdir yang sesungguhnya. Ia hadir bukanlah sebentuk tembok berlapis baja yang merintangi perjalanan kita. Ia sekedar UJIAN KEIMANAN dari Sang Maha. Sebentuk cinta kasih-Nya, untaian mahabbah-Nya.

Kini. Aku tak lagi menggugat atas takdir-Nya. Dulu, aku seringkali menegutuk esensi kehidupanku. Entahlah, tak pernah terlintas dalam benakku untuk kembali terlahir sebagai seorang tuna rungu ketika aku masih berusia sebelas tahun. Sungguh, aku hanya seorang bayi yang mengharuskan belajar dari nol: merangkak, berdiri, lalu berlari.

Kini, aku bersyukur. Senantiasa menguntai rasa sykur tiiada terkira pada Sang Khaliq. Tak terkira, bagaimana rasanya bisa mengenyam di bangku kuliah dengan beasiswa. Tak pernah terbayangkan, bagaimana rasanya hidup mandiri, jauh dari orang tua, tak lagi menjadi tanggungan orang tua. Namun di luar itu, aku sadar. Bahwa orang tua senantiasa menitikkan air mata dalam setiap munajatnya, menguntai do’a untukku.

“Tanpa pernah di minta, yang di rumah hampir tiap usai shalat mendoakanmu…”

Itulah sms yang aku dapatkan dari orang tua antara 2-3 kali selama merantau di Kota Pelajar. Sungguh, aku semakin yakin, bahwa aku tidaklah berjalan, menyusuri titian demi titian ini hanya seorang diri. do'a orang tua adalah intinya. lebih ijabah..

Dan kini. Aku semakin bersyukur atas nikmat yang satu lagi. sebelumnya, seringkali aku harus pusing tujuh keliling memikirkan biaya hidup dan kost. selain karena tak pernah lagi dapat kiriman dari orang tua, juga kegiatan menulisku yang menurun dratis.

Alhamdulillah, sejak lebih dari sebulan lalu aku memulai babak baru. Tak lagi harus bersusah payah untuk uang kost dan biaya hidup. Semua itu berkat mereka yang sekarang aku panggil Bapak-Ibu selama di Jogja. Ya, mereka adalah orang tua kedua bagiku, orang tua angkatku selama merantau di Kota Gudeg.

Bahkan, aku semakin terharu betapa baiknya mereka. Bapak berprofesi sebagai dosen Fakultas Teknik UGM, sedangkan Ibu yang berlatar pendidikan farmasi mengurusi berbagai bisnis. Entahlah, apa yang harus aku ucapkan lewat kata-kata. Belum lama tinggal bersama mereka aku telah mengahabiskan biaya dari Bapak Angkat lebih dari 600 ribu. Itu adalah biaya untuk periksa pendengaranku. Dan kini, Subhanallah wal hamdulillah, mereka sedang mengusahakan alat bantu dengar buatku yang harganya mencapai jutaan...

Sungguh, bagiku itu jumlah yang tak kecil. Aku hanya anak seorang guru swasta yang gajinya tidak lebih dari 850 ribu, itupun bukanlah penghasilan bersih. Bahkan rumahku hanyalah berdinding papan dan anyaman bambu, hanya lantai yang sudah dikatakan layak, campuran keramik dan plester. Namun, aku bersyukur di rumah sederhana yang sejuk itu senantiasa bersemayam rahmat Allah. Di tempat yang sederhana itulah, sejak puluhan tahun lalu, hampir tiap hari anak-anak menggapai rahmat Allah dengan mengaji ke bapak dibantu asisten santri senior yang sudah naik tingkat mengaji beberapa kitab kuning. Selama puluhan tahun juga, mereka tanpa kewajiban membayar biaya, alias gratis. Namun, sebagian orang tua mereka kadangkala menyumbang seadanya, semacam shodaqoh, tanpa pernah kami minta. dulu kami sempat nanya, "kok gak kayak di tempat Pak Y yang tiap bulan wajib iuran?". bapak hanya menjawab singkat "Tak perlu!". dan kini aku mulai tahu apa jawaban yang sesungguhnya di mata Bapak.

Dan satu lagi, di rumah baru selama di yogya yang terasa damai ini, aku menemukan kembali tentang apa yang aku harapkan. Shalat tahajjud th diwajibkan oleh orang Ibu angkat. Saat masih kost, seringkali aku kesulitan saat hendak berwudlu dini hari. Kini semakin mudah. Di sisi lain, adalah suatu nikmat tersendiri mereka menyediakan ustadz untuk mengajarkanku dan 3 penghuni lain tentang agama. Bahkan, aku sempat menemani Pak Ustadz –begitulah kami memanggilnya- berdakwah di lereng merapi. Di lereng merapi inilah, secara tak terduga aku bersilaturrahim dengan peraih Piala Kalpataru, Bapak Syambyah. Bahkan, entah bercanda atau tidak, dalam suatu kesempatan usai mengaji, Pak Ustadz berkata kepadaku “Kapan-kapan aku ajak ke Surabaya buat berceramah di sana!”

Aku terkejut. beliau adalah memang pengasuh Madrasatul Qur'an AL Anwar, SUrabaya. dan aku senang karena beliau sama-sama dari NU. Memang ingin sekali aku berbagi terhadap sesama. Ingin sekali berbagi tentang dunia. Tentang suka dan duka. Dan yang pasti, aku mencoba mengamalkan pesan bapak kandungku “jadilah sosok yang menjadi teladan masyarakat!”.

Aku mencoba melakukan itu. Karena satu hal, Aku tak mampu melaksanakan pesan bapak untuk menggantikan posisinya di kampung halaman. Dan aku telah melimpahkan amanah itu kepada adikku, yang insya Allah sanggup memegangnya. aamiin..

Dulu, aku barangkali adalah rentetan kisah using yang layak dibuang. Akan tetapi, kini aku tak pernah lagi merasa hal yang demikian. Karena aku percaya. Karena aku yakin akan takdir-Nya.

Dan satu lagi, meski aku hanya seorang tuna rungu. Yang sebagian besar menganggap berbeda dari Anda. Namun TIDAK bagiku. SETIAP MANUSIA DI MATA-NYA ADALAH SAMA, YANG MEMBEDAKAN ADALAH TINGKAT KEIMANAN DAN KETAKWAANNYA….

Minggu, 02 September 2012

Engkaukah Itu?




di luar
hujan merintih
menderaskan malam
di dalam
di dalam kepalaku
hujan berjelaga
:termangsa
ketika kata-kata dan sebait janji tanpa rimba
ketika lenggak-lenggok bayangmu mencumbu sekujur lukisan kamarku
ketika kasih bersemilir
di atas pijar lilin
meski tak memijar gerbong demi gerbong kereta
yang menyemai rindu di tepian alis mata
sebab kasih pun takkan purna
mengeja baitbait rindu
dalam rerimbun akasia yang membelai malam
engkaukah itu
yang bernama kelam?

mengejalah!
kemana jejak kita takkafurkan sunyi
dalam iqra dini hari

25/11/2010


Minggu, 05 Agustus 2012

Menakar Keadilan bagi Difabel



Pernah mendengar istilah difabel? Difabel adalah istilah yang ditujukan bagi orang-orang dengan kemampuan berbeda atau Different Ability. Hal ini sebagai langkah mengubah persepsi masyarakat yang cenderung memiliki persepsi menyudutkan kaum difabel. Sekitar tahun 1999 istilah difabel dibawa oleh para aktifis penyandang cacat yang sadar akan dampak negatif dari istilah "cacat" yang selama ini melekat pada mereka. Istilah penderita cacat atau penyandang cacat sendiri jelas berdampak besar bagi psikologis.

Istilah difabel dianggap lebih layak karena merupakan simbol kesetaraan antara manusia normal dengan manusia yang memiliki keterbatasan secara fisik. Kebanyakan orang tidak terlalu menganggap serius karena menganggap hanya sebatas istilah saja. Ironisnya dalam ranah akademik, seolah kaum difabel tidak diberikan kesetaraan apalagi perlakuan khusus dan dalam hal pengadaan fasilitas. Akibatnya, tidak sedikit pelajar atau mahasiswa difabel yang tidak dapat bersaing dengan mahasiswa normal lainnya. bahkan dalam beberapa kejadian, tidak sedikit lembaga pendidikan -dalam hal ini univervitas- yang menolak kaum difabel, dengan alasan "cacat".

Menengok kembali ke dalam kampus, Tim Litbang Surat Kabar Mahasiswa (SKM UGM) BULAKSUMUR mencoba melakukan survey atas pandangan mahasiswa UGM terhadap permasalahan diatas. Dari 200 mahasiswa sebagai responden dari berbagai fakultas, kami mendapatkan sejumlah data yang menjadi acuan kami. Mengenai istilah difabel sendiri, 148 orang (74%) “mengetahui” sedangkan 52 orang (26%) “tidak mengetahui” istilah difabel. Seharusnya istilah tersebut sudah tidak asing lagi di kalangan mahasiswa, hanya saja pihak UGM sendiri seolah tidak terlalu menyorot permasalahan mengenai mahasiswa difabel, akibatnya masih saja ada yang tidak mengetahui istilah tersebut, apalagi tuntutan kesetaraan yang dibawanya. Kesadaran mahasiswa akan lingkungan sekitarnya juga perlu mendapat sorotan serius.

Selanjutnya 109 orang (54,5%) pernah menemui mahasiswa difabel dan 91 orang (45,5%) lainnya tidak pernah. Sekitar setengah dari jumlah responden menyatakan pernah menemui mahasiswa difabel, membuktikan tidak sedikit kaum difabel dalam kampus kita yang perlu diperhatikan mengenai akses mereka dalam setiap kegiatan akademik. Pada pertanyaan terakhir kami mencoba mengangkat masalah fasilitas di UGM, apakah menunjang atau tidak bagi kaum difabel. Diluar dugaan, ternyata 45 orang (22,5%) menjawab “ya” sedangkan 155 orang (77,5%) menjawab "tidak".

Dari data tersebut dapat disimpulkan sebagian besar mahasiswa berpendapat fasilitas di UGM masih belum menunjang bagi kaum difabel, baik fisik maupun non fisik. Hali ini dapat dilihat dengan hamper tidak adanya fasilitas yang menunjang bagi mahasiswa difabel. Padahal sudah ada beberapa mahasiswa difabel di UGM, dan tidak sedikit dari mereka yang berprestasi. Lantas kenapa isu tentang kaum difabel masih "adem-adem" saja? Bukannya diberikan perlakuan khusus, seolah mahasiswa difabel justru dipaksa menyerah dengan keterbatasannya, terutama dalam fasilitas yang diberikan. Dibalik fenomena tersebut, nampak masih minimnya kesadaran bersama dalam membangun lingkungan yang kondusif. Mungkin masih ada kebingungan dalam mengetahui ciri-ciri kaum difabel. Karena untuk mengetahui ciri kaum difabel harus melibatkan seluruh kondisi fisik dan kejiwaan pada saat bersamaan. Perlu adanya sosialisasi mengenai kaum difabel dan definisi dari istilah difabel itu sendiri serta apa yang mereka butuhkan dalam lingkungan, dengan demikian keterbatasan fisik bukan hambatan lagi.

Sejauh ini dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pendidikan di negeri kita belum sepenuhnya berbasis sensitivitas terhadap difabel. Termasuk di UGM yang selama ini dikenal sebagai universitas terbesar dan tertua di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan fasilitas-fasilitas yang ada belum sepenuhnya aksesible terhadap difabel, baik aspek fisik (bentuk bangunan) maupun non fisik (kurikulum, tenaga pengajar, dll).

Paradigma pendidikan inklusi di UGM belum sepenuhnya berkembang,, bahkan dapat dikatakan masih sangat minim. Hal ini bukanlah hal yang mengejutkan, mengingat dalam segala aspek kehidupan, difabel masih menempati posisinya sebagai kaum marginal yang tidak pernah lepas dari diskriminasi, jauh dari rasa keadilan. Kesempatan bagi difabel untuk mengembangkan identitas diri dalam lingkungan sosial masih sangat terbatas, termasuk dalam bidang pendidikan.

Berdasarkan data yang ada, hanya sekitar 0,06% difabel di Indonesia yang mengenyam perguruan tinggi dari total delapan belas juta difabel. Suatu angka yang mencengangkan sekaligus ironis mengingat selama ini kita seringkali mendengungkan dan menyuarakan isu Hak Asasi Manusia (HAM). Lalu apakah esensi yang kita suarakan itu?

Selama ini isu HAM lebih banyak menyoroti isu gender, masyarakat prooletar, dan isu-isu lain yang di dominasi cekcok hukum dan politik. Isu tentang difabel belum sepenuhnya mendapat perhatian serius. Sehingga pemahaman masyarakat mengenai difabel pun dapat dikatakan belum seberapa, termasuk di dalamnya tentang pentingnya pendidikan inklusi.

Difabel merupakan individu yang memerlukan layanan pendidikan khusus dan secara signifikan berada di luar rerata normal, baik dari segi fisik, inderawi, mental, sosial, dan emosi agar dapat tumbuh dan berkembang secara sosial, ekonomi, budaya, dan religi bersama-sama dengan masyarakat di sekitarnya.

Namun, kecenderungan pendidikan sekarang yang berkembang adalah pendidikan yang eksklusif dan tersegresi. Alhasil, difabel pun menjadi semakin terkucilkan dalam pergaulan masyarakat. . Meyerson (1980) dalam Sri Moerdiani (1995: 16) menyebutkan bahwa kelainan sering dipandang dari ketidakmampuan (disability) dan merupakan akibat dari suatu yang ditentukan masyarakat. Difabel yang menjalani proses sosial terpisah dengan masyarakat (sekolah segregasi) akan mengalami ketidakseimbangan yang dapat dilihat dalam kegagalannya memenuhi kebutuhan secara fisiologis, psikologis maupun sosial. Ketidakseimbangan ini dapat dilihat dari kesejahteraan difabel yang minim.

Selama ini stigma yang berkembang di masyarakat adalah difabel merupakan kaum minoritas yang harus disantuni, dikasihani, bahkan yang lebih tragis lagi adalah direhabilitasi dalam lingkungan yang terpisah dari masyarakat –yang dipandang- normal. Dampak adanya segresi semacam ini, membuat pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap difabel menjadi dangkal dan sempit. Buntutnya, tidak sedikit masyarakat yang mengucilkan dan mengkasihani difabel secara berlebihan.
Padahal yang dibutuhkan difabel adalah persamaan akan pemenuhan hak-haknya yang telah ada secara kodrati, termasuk yang paling utama adalah dalam upayanya mengembangkan identitas diri melalui pendidikan.

Pendidikan bagi difabel selama ini terkonsentrasi pada Sekolah Luar Biasa (SLB). Jika ditilik lebih jauh, pendidikan dengan model segresi semacam ini, sama saja semakin menjauhkan difabel dari kehidupan masyarakat. Padahal difabel butuh normalisasi dibalik perbedaan kemampuannya (different abilty-difabel). Thomas dan Pierson (1996) mendefinisikan normalisasi sebagai konsep yang memberi penekanan terhadap keinginan individu difabel untuk hidup dengan cara hidup yang hampir sama dengan anak normal. Normalisasi di sini tidak dimaksud membuat mereka menjadi sperti orang lain yang normal, tapi lebih ditekankan pada aktifitas pemenuhan kebutuhan fisik, social dan psikologis.

Namun, di sisi lain, tidak siapnya fasilitas pendukung di lembaga pendidikan umum belum sepenuhnya menjamin bagi pelaksanaan pendidikan inklusi. Jumlah mahasiswa difabel di UGM memang belum diketahui secara pasti, namun yang pasti jumlahnya tak seberapa. Hal ini diperparah dengan ketiadaan fasilitas yang tidak aksesible bagi difabel.

Salah satunya adalah bentuk bangunan yang tidak aksesible terhadap difabel, seperti bentuk tangga yang masih berupa undak-undakan, hingga ketiadaan penyedia informasi dalam bentuk khusus bagi difabel sesuai dengan kemampuannya.

Di sisi lain, factor non fisik juga patut menjadi sorotan. Jangankan ada jalur khusus bagi difabel untuk menjadi mahasiswa di kampus biru ini, kurikulum pun seringkali tidak mampu mengakomodasi kebutuhan difabel. Hal ini berbeda dengan beberapa universitas yang telah memiliki kesadaran dan konsensus tentang pentingnya pendidikan inklusi dan anti dikriminasi. Seperti yang ditunjukan UIN Sunan Kalijaga dan Univeritas Barawijaya yang telah mendirikan Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD). Meski sampai sekarang dampaknya belum terasa, namun sebuah langkah yang patut diapresiasi. Lalu, bagaimana dengan UGM?

Perlu adanya kesadaran dari setiap civitas akademika UGM tentang pentingnya pendidikan inklusi untuk memenuhi aspek rasa keadilan bagi difabel. Sebagai salah satu kampus terbesar yang selama ini juga dikenal sebagai kampus pancasila dan kerakyatan, besar harapan dapat menjadi piooner kebangkitan pendidikan inklusi di Indonesia, bahkan dunia.


(Afrianda & Mukhanif YY, Litbang Surat kabar Mahasiswa (SKM) Bulaksumur UGM)

Jumat, 08 Juni 2012

Mendengar Lewat Mata dan Hati

13385631711560512395Perkenalkanlah, saya terlahir normal namun entah mengapa saat usia sebelas tahun pendengaranku hilang, setelah sekitar seminggu bunyi dengung terus-menerus, tiada henti. Tak ada secuil suara pun yang dapat saya tangkap, sesuatu yang sebelumnya senantiasa saya sua. Hanya sunyi yang senantiaa saya rengkuh. Lalu, yang aku rasakan hanyalah sebuah kematian hidup. Ya, semua orang pun tahu. Kematian hidup adalah sesuatu yang menyakitkan. Andaikan disuruh memilih, kematian yang abadi-lah yang saya pilih.

Namun, didikan orang tua sejak dini, terutama didikan agama yang cukup keras, membuat saya belajar banyak pada sebuah realitas. Meski membutuhkan proses yang relatif cukup panjang. Yakni, lebih dari dua tahun. Namun inilah sebuah hidup, tak ada yang serba instan. Tercatat, saya terpaksa keluar sekolah ketika duduk di bangku kelas enam Sekolah Dasar, meski sekitar dua tahun kemudian saya kembali bersekolah. Hal itu juga atas permintaan orang tua, bukan inisiatif saya .


Bagaimanakah saya memulai?


Pertanyaan itu mungkin adalah hal yang jamak. Sesuatu yang senantiasa saya tangkap saat baru pertama kali bertemu dengan orang-orang yang sebelumnya belum pernah saya temui. Sejauh ini saya baru menemukan beberapa jawaban;


1. Diri Sendiri


Menjadi seorang tuna rungu bukanlah sebuah “cita-cita” yang saya catat dalam diary hidup saya. Bahkan pad masa-masa awal dalam diri saya timbul pemberontakan demi pemberontakan. Pemberontakan itu saya wujudkan dalam keputus asaan, penggugatan terhadap takdir Tuhan, hingga seringkali saya merasakan hidup seorang diri.


Saya satu-satunya yang tuna rungu di dalam keluarga saya, bahkan di desa saya. Semakin lengkaplah kehidupan saya sebagai seorang diri. Namun lambat laun berkat didikan agama yang cukup keras dari orang tua semenjak dini, membuat saya dapat menyadari akan hakikat sebuah takdir. Saya sadar, bahwa hidup adalah kehidupan, bukan kematian. Seperti yang selama ini saya rasakan saat masa-masa awal mengalami tuna rungu.


Mungkin dengan meminjam istilah Cynthia J Morton, seorang mantan pasien pada pusat rehabilitasi dalam bukunya “A Helping Hand with Life”,kata Kunci yang membuat perbedaan pada apakah kita sekadar ada di dunia atau menjalani hidup secara penuh adalah usaha, perhatian, tekad dan antusiasme (Morton, 2006:XIV).




2. Libatkan Tuhan


Tak dapat saya pungkiri, bahwa Tuhan adalah pusat segala aktifitas manusia. Begitu juga dengan hidup saya. Ketika saya sedang pada masa keputus asaan dalam menjalani hidup, saya benar-benar alpa akan Tuhan. Hal ini yang sesekali membuat saya menggugat akan takdir-Nya. Eksistensi saya seringkali saya gambarkan sebagai sebuah kunang-kunang yang hanya sanggup berkelip-kelip. Tak lebih dari itu. Ya, tak lebih. Padahal dunia diluar saya begitu gelap dan pengap. Namun, seperti yang telah saya sebutkan pada bagian terdahulu, didikan agama dari orang tua lambat laun membuat saya bangkit dari “kematian” hidup saya.


Selain itu, latar belakang keluarga dari pihak ayah yang hampir tak pernah lepas dari dunia pesantren, cukup mengenalkanku akan hakikat Tuhan, bahkan andaikan saya tidak mengalami tuna rungu, barangkali saya tidak akan berdiri di sini. Kemungkinan besar saya akan mengikuti jeja-jejak saudara saya, yakni menganyam pendidikan di pesantren.


Sampai kini saya senantiasa melibatkan Tuhan dalam setiap aktifitas saya. Saya ingat pesan orang tua yang nun jauh di sana, di kampung halaman; “jangan lupa sholat Dhuha!”. Setiap habis sholat fardhu di kamar kost saya yang berukuran 3X3 meter, saya upayakan membaca Al Qur’an minimal satu lembar. Puasa senin-kamis kadang-kadang saya lakukan, meski intensitasnya tak seberapa alias bolong-bolong.

3. Orang di sekitar kita.

Inilah yang memiliki peran tak kalah penting, selain diri kita sendiri. orang-orang di sekitar saya, orang-orang terdekat saya, terutama orang tua telah memberi kontribusi yang cukup besar bagi hidup saya. Bukan hanya mereka telah membuat saya ada. Mereka dengan penuh ketulusan, cinta-kasih saying, keyakinan akan sebuah takdir Tuhan menerima saya apa adanya. Meski saya satu-satunya yang berbeda di anntara saudara-sadara saya yang lain.


“Tanpa sekolah kamu mau jadi apa?” itulah kata-kata yang terlontar dari ibu saya. Kata-kata yang meminta saya untuk kembali bersekolah setelah hampir dua tahun vakum. Kata-kata itu yang membuat saya sanggup melangkah sejauh ini.


Saya juga berterima kasih kepada orang-orang yang selama ini bertemu dan berhubungan dengan saya, tanpa mereka saya tak tahu apakah dapat singgah di kota pelajar ini atau tidak.


Perlu dicatat, dalam menangangani anak berkebutuhan khusus (children with special needs) peran orang tua memiliki kedudukan yang sangat dominan dalam membentuk identitas si anak. mereka yang selama ini senantiasa dekat dengan kehidupan sang anak. jadi, keberhasilan anak dalam menemukan identitasnya tergantung bagaimana orang tua menerima dan menyikapi sang anak. orang tua yang menganggap mereka adalah monster atau sebuah kutukan Tuhan justru semakin membuat sang anak semakin terjebak pada ruang yang marginal. Berbeda jika orang tua memahami, bahwa hakikatnya tidak ada manusia yang sempurna. Karena kesempurnaan hanyalah milik-Nya.





Bagaimanakah saya memahami dunia saya?
Kini, sudah lebih dari sepuluh tahun saya menjalani dunia saya yang lain. Dunia yang sebelumnya tak pernah saya inginkan untuk singgah dalam hidup saya. Dulu, ia adalah sebuah noktah hitam yang menurut saya tak pantas menodai kesucian saya. Setidaknya demikianlah yang ada dalam kepala saya. Akan tetapi kini saya dengan senang hati menjawab “Inilah Saya!”. Saya bangga –bukan dalam bahasa kesombongan- dengan diri saya, meski ada yang bilang saya ini tidak normal, cacat, dan sejenisnya.

Namun, saya tegaskan, tidak ada manusia ciptaan Tuhan yang cacat! Yang ada hanyalah setiap manusia dia memiliki kelebihan dan kekurangan. Karena tidak ada mahluk ciptaanya yang bersifat sempurna. Yang benar-benar semprna hanya Sang Khaliq.


Mendengar lewat Mata
Dalam sebuah artikel di internet, saya pernah membaca kalimat yang cukup unik. Kalau tidak salah bunyinya adalah;
“Mata memiliki peran yang lebih besar daripada telinga dalam proses menyerap informasi”
Jujur, saya secara pribadi sependapat dengan pernyataan di atas. Apalagi jika dikorelasikan dengan kehidupan saya sebagai seorang yang tak sanggup mendengar.

Pengalaman saya yang sampai SMA bergaul dengan orang yang semuanya “normal” barangkali dapat menjadi penguat argument saya. Sebagai contoh, saya sejak SD sampai SMA di sekolah umum, bergaul dengan yang normal semua. Dalam menyerap informasi saya mengandalkan sepasang mata saya.

Dalam menyerap materi pelajaran saya menatap tajam apa yang ditulis guru saya di papan tulis. Kadang-kadang dengan melihat gerak bibir guru saya. Namun harus saya akui, bahwa hasil dari memperhatikan gerak bibir saya tidak maksimal. Pun, sampai kini saya belum maksimal dalam membaca gerak bibir lawan bicara. Alhasil, saya lebih banyak mengandalkan media tulis untuk memahami apa yang mereka katakan. Maka tak heran, jika alat tulis senantiasa tak jauh dari sisi saya. Namun biar lebih praktis, seringkali menggunakan Hp.

Saat SMA saya hanya tersenyum saja ketika teman-teman meledek saya dengan sebutan kutu buku. Hal ini tidaklah salah, bahkan sebuah keharusan bagi orang-orang seperti saya untuk membaca apa saja yang dapat dikategorikan sebagai sumber informasi sebagai pembuka cakrawala, pembangkit kehidupan, dan semacamnya. sebab dengan membaca, yang tentu saja mengandalkan mata, saya dapat “mendengarkan” apa yang dunia katakan, apa yang sedang terjadi dalam kehidupan saya, apa yang sedang terjadi di sekitar saya.

Saya dapat berasumsi bahwa sekitar 85% materi pelajaran saya serapdari membaca, hal ini tidak lain karena saya sejak SD-sekarang mengenyam di lembaga pendidikan formal umum, berbaur dengan yangnormal.

Begitu juga dengan hobi menulis yang sampai sekarang saya jalani. Bahkan saya bisa melangkah hingga ke kampus ini berkat membaca. Ya, saya belajar menulis secara otodidak lewat membaca. Semua ketramplian saya dapat dari membaca.Dan tentu saja, semua aktifitas membaca itu tidak lain dan tidak bukan karena saya mengandalkan sepasang penglihatan saya; mata saya yang mendengarkan.


Mendengar Lewat Hati
Sebenarnya ini adalah pengembangan –katakanlah sebuah proses akhir- dari bagaimana kita mendengar lewat mata. Akan tetapi dalam posisi tertentu, hal ini dapat berdiri sendiri.

Umumnya hal yang tidak dipisahkan dengan mata sebagai indera pendengaran adalah hal-hal yang dapat kita tangkap dalam dunia (nyata). Contohnya, bagaimana saya melihat ekspresi seseorang, maka hati saya yang sanggup menerjemahkan. Kadang-kadang proses penerjemahan dalam hati saya keliru. Persaan (hati) saya menangkap bahwa si obyek sedang menghina saya, padahal sejatinya tidak. Begitu juga dengan sebaliknya. Pada saat seperti inilah, saya seringkali bergulat dalam emosi yang kadang-kadang tak terkendali. Bahkan, jika semakin tak terkendali saya pernah menggugat Tuhan, meski gugatan saya hanyalah berujung pada kesia-siaan.

Mendengar lewat hati pada tipe kedua lebih mengarah bagaimana kita memahami hakikat hidup kita secara lebih mendalam. Sebagai pengejawantahan posisi kita sebagai mahluk Tuhan. Sebab, Tuhan tidak dapat kita lihat dengan mata kepala sendiri. akan tetapi dengan kekuatan, dengan perenungan bathin kita; hati kita yang paling dalam.

Dengan mengandalkan hati kita saat berkomunikasi dengan Tuhan, setidaknya dapat mengasah kepekaan, penghayatan dan pehaman kita akan apa yang terjadi dalam kehidupan kita. Kombinasi antara mata dan hati itulah, kekuatan utama saya dalam memahami dunia saya. Dunia yang sebagian besar orang menganggap dunia yang hening dan sunyi. Dunia yang hanya sanggup terdiam, serupa air dalam baskom; tenang dan stagnan. Akan tetapi, bagi saya dunia saya sama dengan apa yang sedang Anda jalani, yang membedakan hanyalah satu, yakni kita menuju ke arah sana dengan jalan yang berbeda.
Mukhanif Yain Yusuf, Penyandang Tuna Rungu, Mahasiswa Semester kedua Sastra Indonesia UGM
*artikel ini adalah pengantar saat menjadi dosen tamu mata kuliah Biopsikologi di Fakultas Psikologi UGM, Jum’at 25 Mei 2012

Sabtu, 25 Februari 2012


jika aku tetap berlari karena hujan, tersebab dialah yang memberi sebijih benih yang terus tumbuh dalam metamorfosa kehidupan..
mungkin, senja yang tak lagi kemuning ini, akan tetap setia duduk di samping secangkir kopi hitam tanpa pemanis, di atas tumpukan buku-buku usang, atau mengendap di bawah Hape butut yang tetap hidup dalam usianya yang menginjak tahun ketujuh..
dan, seperti hujan yang membuat jemuranku basah, ketika aku pulang dalam gerimis resah. barangkali preludeprelude sunyi masih mengambang, terus mengambang. hujan tak pernah reda, memang.
bukankah janji senja hanya sebatas ikrar terpatahpatah, memahat gelisah?

sebagai pejalan kaki yang menyusuri trotoar kegaduhan ini, bagiku bukanlah panorama asing. sebab bangkai-bangkai rutin bersemayam dalam sebentuk parfum bikinan impor di dalam lubang hidungku. atau tangis lirih manusiamanusia tanpa nama. dan. dosa. semua bukan lagi sandiwara. atau mengada-ada. tapi senja tetap berlagak surga tanpa pesona.

tepat jam lima sore aku terduduk di kamar kesendirian. 2X3 meter. tak lebih. tapi aku selaksa berada di dalam Starbucks, Atlantis, Avenida Palace, bahkan Withe House. jadi, engkau tak perlu iri, kawan.
esok, akan aku ajak ke Patayya, Dubai, atau sekadar refreshing ke Sanur. tapi, aku lebih suka engkau aku ajak berwisata ke Afghanistan, Irak, atau Palestina. sebab, masih ingatkah engkau tentang Bosnia-Herzegovina? juga tentang Latko Mladic? tapi, tak mengapalah jika engkau masih betah di negeri sendiri. sebab di sini tangis dan darah tak jauh berbeda dengan gedung-gedung pencakar langit. atau jika kita bandingkan dengan ruangan wakil rakyat yang serba impor dan kesohor.

kemarin, baru saja aku ketawa tentang afika. seorang presiden, barangkali sedang tertidur di atas abalabal yang memualkan itu. jika aku masih sempat berjalan bersama hujan, jalan raya dan trotoar tak ubahnya sungai buatan, berkelokkelok, mungkinkah atas nama tuhan?