Ketik di sini

Senin, 24 September 2012

BINGKISAN PERTAMA DAN -semoga bukan- TERAKHIR



“Mukhanif Yasin Yusup!”

Sontak. Aku terkejut ketika namaku dipanggil pada sesi akhir upacara bendera hari senin. Seketika juga, tepuk tangan bergemuruh. Membelah pagi yang masih dingin berselimut embun, khas pedesaan yang tak terlalu jauh dari pegunungan. Sedangkan di sisih barat, Gunung Slamet, gunung tertinggi di Pulau Jawa, dengan angkuh menunjukan kemolekannya. Barangkali ada sedikit perbedaan mengenai nama yang tertulis. Entah karena kesalahan, atau memang sebuah kebiasaan. Nama akhirku sebenarnya “Yusuf”,bukan seperti yang diutarakan bapak kepala sekolah;Yusup. Pun, teman-teman dan orang sekitarku telah terkonstruksi memangil “Hanip” daripada “Hanif”. Begitu juga nama bapak, yang seharusnya “Yusuf” akan tetapi lebih sering orang-orang memanggilnya “Yusup”. Dan yang lebih menggelikan, di raporku nama bapak tertulis “Yasin Yusuf”, barangkali pihak sekolah mengira nama akhirku adalah “warisan” bapak. Meski akhirnya bapak mencoret kata “Yasin” dan menggantinya dengan “Luqman”. Jadilah, yang tertulis adalah “Luqman Yusuf”. Dialah bapakku, sosok yang kelak memberiku warna tentang kehidupan, sekaligus juga membimbing dan menuntunku mempelajari kematian demi kematian.

Seketika juga, aku maju ke depan. Berbarengan dengan adik kelasku yang masih kelas empat yakni, Khaezatun Ni’mah, atau yang biasa dipanggil Nunik yang masih saudara sepupuku. Kami mendapat bingkisan yang berisi dua buah buku tulis.
Itulah yang pertama dan terakhir dalam hidupku, sejauh ini. Ya, sejauh ini. Pertama dan terakhirnya aku mengkiuti lomba tilawah. Kenangan yang terjadi saat aku duduk di kelas lima SD ini, adalah kenangan yang kelak tak akan pernah, tak pernah aku harap untuk terlupakan. Kenangan yang kadangkala mengembalikan memoriku untuk menyusuri lorong-lorong masa lalu.

Bingkisan sebagai hadiah memang tak begitu besar, hanya dua buah buku tulis. Jika mengingatnya saya kadang-kdang akan tersenyum sendiri.
“Cuma dua buku tulis?” kata kakakku. Entah bercanda atau ada maksud lain.
Namun, kini “bingkisan” itu menjadi salah satu hal yang sangat berharga bagi hidupku. Itulah yang pertama dan terakhirnya, sejauh ini. ya, sejauh ini. barangkali tak pernah terbayangkan, jika sekitar satu tahun kemudian cobaan yang begitu besar, sedemikian dahsyat, menghampiriku. Ya, mungkin engkau tak pernah membayangkan, bagaiamana seorang bocah sebelas tahun harus menghadapi kenyataan atas sebuah garis yang ditakdirkan-Nya. Kehilangan pendengaran, menjadi seorang tuna rungu, bukanlah cita-cita. Membayangkan pun tidak. Yang aku bayangkan adalah bagaimana menggantikan posisi bapak. sebagaimana yang tekah diamanatkannya.

Praktis, setelah kehilangan pendengaran aku sama sekali tak bersentuhan dengan Al Qur’an. Tak lagi mengaji kepada bapak ba’da maghrib. Padahal, ada puluhan teman-temanku yang mengaji kepada bapak di rumahku, sebgai sebuah kegiatan rutin yang aku sendiri tak ingat kapan mulainya. Memang, ada kesulitan tersendiri bagiku. Sistem pengajarannya memakai sistem lisan, tentu saja aku tak sanggup. Namun, orang tua telah mewajibkan kami, anak-anaknya, untuk membaca surah Yaasin tiap malam jum’at. Hingga aku dan saudara-saudaraku pun hafal surah yang memiliki banyak manfaat ini. sesakli di tambah surah AL Waqi’ah dan Al mulk.

Dulu, ada harapan besar dari seorang bapak yang disemayamkan dipundakku. Menggantikan posisinya adalah sesuatu yang sangat diharapkannya, ssuatu yang didambakannya. Namun, seperti sebuah kalimat yang selalu aku ingat “hidup tak seindah alur dalam dongeng”, begitulah pepatah yang layak disematkan dalam kisah perjalananku.

Namun, aku bersyukur. Sebelum mengalami cobaan ini, sebagai seorang tuna rungu, aku telah menamatkan Madrasah Diniyah Taklimiyyah Awaliyyah yang dihabiskan dalam jangka waktu empat tahun. Meski menjadi lulusan termuda, dengan usia belum genap 10 tahun ,sedangkan teman seangkatan sudah ada yang masuk SMP, aku pantas bersykur menjadi lulusan terbaik. Bahkan, aku satu-satunya yang cowok alias laki-laki, ^_^. Jika diakui, minoritas sebagai satu-satunya laki-laki tidak terlepas dari sosok seorang bapak. didikan agamanya sedemikian keras, hal ini tidak lain karena bapak berkali-kali menasihati kami “Dadi anake bapak kuwe kudu bisa dicontoh wong-wong lia, aja nganti gawe isin bapak” (jadi anaknya bapak itu harus bisa jadi teladan orang lain/masyarakat, jangan sampai membuat malu bapak ”.
Memang, semua nasihat bapak terkonstruksi sendiri , sebuah ruang yang terbentuk dari adat istiadat yang masih terpelihara. Semua terkait posisi bapak di kampung.
Meski membutuhkan proses yang relative panjang, sekitar dua tahun untuk bangkit dari keterpurukanku, aku bersyukur telah kembali seperti semula, meski dalam format yang berbeda. Akibat dari keadaan yang tak memungkinkan, aku hanya mengaji sendiri, meski jika diakui secara jujur intensitasnya belum sebarapa. Bahkan bisa dibilang sangat minim.

Berbeda dari saudara-saudaraku yang usai lulus SD diwajibkan nyantri di pondok pesantren sambil melanjutkan ke SMP atau MTs, mengikuti jejak bapak. Akibat dari kondisiku yang tidak memungkinkan, aku hanya melanjutkan ke MTs Negeri di kota kecamatan. Di mana semua siswanya adalah normal semua. Namun, bukan berarti aku tak mencintai agamaku, Islam. Pelajaran yang paling aku suka selain matematika adalah Al Qur’an dan Hadits. Lewat Al Qur’an dan Hadits inilah, aku bisa memperdalam pengetahuanku yang tak sempat aku dapatkan semenjak tuna rungu, termasuk bagaiamana membaca Al Qur’an yang baik dan benar.

Untuk melakukan tilawah, mengulang prestasi yang didapat saat kelas lima SD, barngakali adalah sesuatu yang tidak mudah, bahkan sesuatu yang sangat sulit. Untuk itulah, aku mengambil jalan lain. Aku belajar menulis kaligrafi secara otodidak. Kebetulan, di rumah nenek terdapat buku contoh kaligrafi milik pamanku saat masih nyatri di sebuah pondok pesantren. Aku pun meminjamnya, meski sampai sekarang belum dikembalikan, ^_^…

Dan aku bersyukur, saat di MTs Negeri, aku mendapat kepercayaan untuk membuat beberapa kaligrafi yang hendak dipajang di kelas, terutama saat-saat kenaikan kelas. Hal ini berlanjut saat SMA. Dan saat ada kompetisi lomba kaligrafi untuk memperingati HUT RI tingkat sekolah, aku pun optimis dapat menjadi yang terbaik. Dan Alhamdulillah, akhirnya sesuai harapan. Meski kini tak pernah lagi membuat kaligrafi, sekedar sesekali corat-coret di buku tulis aku sempat bertanya, adakah klub/komunitas kaligrafi di Jogja??

“Bingkisan” yang hanya berisi dua buah buku tulis yang kuperoleh saat kelas 5 SD, akan selalu saya kenang. Itulah, “bingkisan” yang -mungkin- pertama dan terakhir bagi hidupku. “bingkisan” yang kelak aku tak tahu, apakah aku dapat mengulanginya. Namun, aku sedang berusaha…

yang pasti, aku tak pernah kecewa terhadap kondisiku, bahwa apapun yang terjadi adalah yang terbaik bagi umat-Nya. Dan jalan menuju-Nya, dapat dilalui dengan beragam jalur yang berbeda. Aku yakin akan hal itu..

(to be continued…^_^

Belajar tentang Keikhlasan



Pernahkah dalam hidup kita merasa kehilangan? Saya yakin, setiap orang pasti pernah mengalaminya, tanpa kecuali. Entah kehilangan yang bersifat materi maupun non-materi. Hanya saja, reaksi setiap orang sudah pasti berbeda-beda. Sebab, tidak ada satupun mahluk-Nya yang diciptakan dalam skala yang sama, meski dalam ujud atom terkecil.

Dalam satu sisi, seseorang sanggup menerima kehilangan tersebut. Di sisi lain ia tak sanggup menerimanya. Bahkan seringkali atas nama kehilangan kita mengutak-atik eksistensi kuasa-Nya. Karena itulah, pada hakikatnya kehilangan dikorelasikan dengan keikhlasan. Ya, belajar untuk menerima dan berserah diri atas segala kehendak-Nya. Sebab, apa yang terjadi adalah yang terbaik bagi umat-Nya dan Allah tidak menguji kita selain dalam batas keimanan yang kita miliki.

Namun, sebuah ironi ketika hidup dalam kungkungan keduniawiaan segala tolok ukur didasarkan pada materi yang kita miliki. Alhasil, orientasi hidup kita lebih tertuju pada kepuasaan nafsu dibandingkan ketentraman iman dan kedamaian bathin.

Tak sedikit, hanya persoalan sepele kita sudah secara terang-terangan mengutuk dan menggugat keberadaan Tuhan. Kita pernah kehilangan apa yang kita miliki, akan tetapi masih banyak dari kita tak mampu untuk belajar menerimanya, belajar tentang keikhlasan. Entah kehilangan harta-benda, orang-orang yang kita cintai, atau sesuatu yang mendapat predikat ke-Aku-an.

Bagi saya sendiri keikhlasan (beserta kesabaran) adalah kunci utama dalam hidup saya. Sebagai seseorang yang berada dalam keterbatasan ekonomi, bagi sebagian besar orang di era serba pragmatis seperti sekarang ini kunci kebahagiaan lebih dititikberatkan pada segala hal yang berbau materi. Namun, hal itu bukanlah sesuatu yang berlaku bagi kamus hidup saya. Setidaknya, saya mencoba untuk demikian.

Saya pernah kehilangan uang dan beberapa barang berharga yang ditaksir sampai 1,5 juta akibat tingkah laku “teman” yang tak bertanggug jawab saat baru beberapa bulan merantau di Yogyakarta sejak berstatus sebagai mahasiswa. Orang tua dan keluarga pun menyalahkan saya. Kenapa? Uang tersebut niatnya mau dipakai untuk membayar hutang pada kakak ipar saat saya melakukan registrasi sebagai mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi ternama di Kota Pelajar ini.

Bagi kami, jumlah 1,5 juta adalah jumlah yang tidak kecil. Toh, pada akhirnya saya mencoba meyakinkan orang tua, bahwa Allah pasti akan mengganti dengan sesuatu yang lebih dari apa yang telah hilang.

Mungkin, bagi sebagian orang akan menganggap adalah hal yang aneh, tak masuk akal, dan sejenisnya, saat saya bersikap tenang-tenang saja ketika kehilangan uang dalam jumlah “besar. Akan tetapi bagi saya, tolok ukur bukanlah dari sisi materi. Sebab, saya yakin segala sesuatu adalah milik-Nya dan akan kembali jua pada-Nya. Jadi, sang pemilik bukanlah kita, akan tetapi sang Rabb, Tuhan Kita; Allah Azzawajala.

Sebenarnya, apa yang membuat saya bersikap demikian. Baiklah, akan saya ceritkan sedikit tentang ini.

Saya pernah kehilangan sesuatu yang lebih besar, bahkan dapat dikatakan sebagai hal yang sebelumnya saya anggap paling berharga. Siapa yang menginginkan hidup dalam kematian? Tentu saja, tidak ada yang mengingnkan hal itu singgah dan bersemayam dalam kanvas hidupnya.

Namun, ketika Dia telah berbicara dengan sebuah takdir, maka dengan kun fayakun segalanya pun terjadi. Begitu juga saat Allah memberi saya cobaan saat berusia sebelas tahun. Cobaan yang cukup besar bagi bocah seusia saya waktu itu. ya, saya mengalami deaf/tuna rungu saat berusia sebelas tahun.

Dalam masa awal, saya seolah berada dalam kematian hidup, tak ada harapan, juga arah hidup yang akan saya tuju. Yang saya raskan hanyalah sebuah kekosongan, kesunyian, dan semacamnya. Inilah, sebuah kehilangan terbesar bukan hanya bagi saya, tapi juga orang tua. Orang tua mana yang tak merasa tersayat-sayat melihat buah hatinya yang masih kanak-kanak, masih belum mampu mengenali dan menemukan identitasnya? Dan bagaimana jika Anda berada dalam posisi saya?

Imbasnya, saya memutuskan untuk keluar sekolah meski sudah menginjak kelas enam SD. Selama itu pula saya hanya meratapi kehilangan ini. namun, seiring berjalannya waktu saya mulai belajar tentang kehilangan. semua itu berkat didikan agama yang cukup keras dari orang tua. Mungkin jika Anda berada dalam posisi saya, Anda merasa bosan. Bayangkan, sejak berusia lima tahun saya hanya memiliki kesempatan bermain sangat minim, tidak seperti teman-teman yang lain. Pagi duduk di bangku SD, siang sampai sore harus sudah berada di Madrasah Diniyah Taklimiyah Awaliyah untuk memperdalam ilmu Agama. Bahkan, menginjak kelas akhir, saya satu-satunya yang laki-laki dan seingat saya saat menginjak kelas akhir saya hanya absen satu kali.

Namun, sekarang justru saya sangat bersyukur atas semua itu. karena saya dapat belajar atas kehilangan, belajar tentang keihlasan. Kini, saya tak lagi menganggap kehilangan pendengaran saya sebagai sebuah kematian hidup. Akan tetapi adalah ujian bagi keimanan saya.

“Cobaan ini tidak hanya ujian bagimu, tapi juga bagi saya”

Itulah perkataan Ibu beberapa waktu lalu. Saya bersyukur atas segala nikmat-Nya. Seiring berjalannya waktu, dua tahun kemudian saya kembali masuk sekolah dan langsung duduk di kelas enam. Saya menganggap selama dua tahun itu adalah waktu yang saya butuhkan untuk beradaptasi dengan dunia saya yang baru. sebab, kita pasti tahu, semuanya membutuhkan proses, dan proses itu tak ada yang insstan. suka dan suka senantiasa menghampiri. Dulu saya tidak berpikiran untuk menganyam pendidikan sampai sejauh ini. Dulu, kuliah bagi saya tidak ada dalam benak saya, bahkan mengenyam pendidikan sampai Madrasah Tsanawiyah (MTs) pun tak pernah terpikirkan. Bagi saya, cukuplah saya dapat “bertahan” hidup dengan apa yang masih saya miliki.

Memang ,dulu banyak yang meragukan saya, terutama karena kondisi saya. Begitu juga ketika saya memutuskan melanjtkan ke sebuah SMA swasta yang selama ini dianggap masih pinggiran. Banyak yang menganggap tak masuk akal karena saya mengenyam di MTs Negeri, selalu stabil mendapat peringkat satu-dua sejak kelas satu sampai tiga, bahkan masuk lima besar diantara 260-an lulusan yang semuanya adalah siswa normal saat kelulusan UN. Itu semua atas saran bapak, dan saya percaya bahwa ridha Allah terletak pada ridha kedua orangtuanya.

Toh, pada akhirnya saya mencoba membuktikan bahwa semua pada hakikatnya adalah sama, yang membedakan adalah diri kita sendiri. Kini, saya bersyukur atas semua nikmat yang telah diberikan-Nya.

Saya mencoba belajar dari kehilangan “terbesar” dalam hidup saya. Dan bagi saya kehilangan yang bersifat non-materi justru adalah sesuatu yang lebih sulit dibandingkan dengan kehilangan sesuatu yang bersifat materi. Kehilangan 1,5 juta yang saya alami Allah ganti dengan sesuatu yang memiliki nilai lebih. Siapa yang tak pantas bersyukur mendapat beasiswa penuh dan uang saku selama empat tahun di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Siapa yang pantas mengingkari nikmat-Nya ketika mendapat penginapan dan biaya makan gratis selama merantau di Kota Gudeg. Dan satu lagi, apakah saya pantas mengingkari-Nya ketika seseorang yang dengan ikhlas membantu saya untuk memulihkan pendengaran saya yang membutuhkan dana yang saya taksir mencapa 4 juta lebih?

Suatu malam, saat mengayuh sepeda menuju ke kampus, saya berpapasan dengan seorang pemuda. Dengan langkah gontai ia menghampiri saya. Karena kondisi gelap, saya tidak mampu membaca gerak bibir si pemuda tadi. Karena sejak kehilangan pendengaran mengandalkan gerak bibir dan sebuah tulisan untuk memahami lawan bicara. Akhirnya,saya meminta dia menuliskan sesuatu di secarik kertas.

“Mas, Saya butuh uang buat makan dan beli obat buat nenek saya. Kami sudah dua hari nggak makan karena buat beli obat. Sejak siang saya meminta ke orang-orang di sekitar sini, tapi belum dapat. Kalau ada pekerjaan dan Bapak-Ibu saya masih hidup, saya tidak akan meminta-minta seperti ini”

Mengingat kondisi gelap, dengan penerangan Hp butut warisan kakak, saya membaca rangkaian kata yang ada di secarik kertas tersebut. Saya mencoba mengetes kebenaran realitas yang dialami pemuda tadi. Pemuda itu mengaku putus SMP, hidup berdua dengan nenek yang sakit-sakitan, pekerjaannya adalah sebagai pemulung. Saya meminta alamatnya secara detail untuk mengukur seberapa seriusnya pemuda tadi, mengingat saya pernah “mendengar” jutawan yang lahir dari meminta-minta. Pada, akhirnya saya pun mulai percaya usai pemuda itu bercerita panjang lebar.

Entahlah, saya mencoba belajar dari kehilangan “terbesar” bagi hidup saya. Saya mencoba belajar pada apa yang saya sebut sebagai luka dan air mata. Toh, luka dan air mata adalah aksesoris utama saya saat pertama kali kehilangan pendengaran saya. Meski pada akhirnya, saya mencoba untuk tidak meratapinya, akan tetapi menyikapinya dengan hal-hal yang bersifat positif. Dan perasaan saya tidak tega melihat luka yang dialami sesama.

Namun, yang menjadi masalah, ia membutuhkan limapuluh ribu, sedangkan saya hanya mempunyai tujuhpuluh ribu. Sedemikian lama saya terdiam sejenak, mengingat saya sangat membutuhkan uang tersebut. Bahkan saya masih membutuhkan uang tambahan untuk mencari kost baru karena kontrak kost sudah habis dan hendak pindah kost. Dan saya juga sudah tidak lagi mengandalkan orang tua sejak menginjak bulan kedua kuliah di Yogyakarta. Namun, dengan bismillah dan kemantapan hati saya mengikhlaskan uang limapuluh ribu ketangannya. Praktis, uang di dompet saya hanya tinggal duapuluhribu.

“terima kasih, mas. Semoga Mas mendapat balasan dari Allah”

Saya hanya mengangguk dan mengamini dalam hati. Dan. Subhanallah wal hamdulillah, seminggu kemudian saat saya mendapat kesempatan jadi pembicara di sebuah acara talkshow Allah menggantinya dengan jumlah yang lebih besar, mencapai lebih dari delapan kali lipat dibandingkan yang saya berikan kepada pemuda tadi. Ditambah lagi, tidak hanya balasan materi yang saya dapat, tapi nikmat non-materi yang saya dapatkan ketika berada diacara talkshow tersebut.

Kini, saya semakin yakin, kehilangan bukanlah sebuah akhir dari segalanya. Karena dunia ini beserta alam seisinya adalah milik-Nya. Begitu juga ketika saya kehilangan pendengaran saya, yang bagi Anda mungkin adalah sesuatu yang sangat berarti bagi hidup Anda. Justru saya merasa Allah telah memberikan semua yang jauh dari yang saya bayangkan. Bagi saya, kehilangan materi tidaklah seberapa jika dibandingkan kita kehilangan iman dan keyakinan kita. Kuncinya bagaimana kita belajar untuk ikhlas menerima apa yang Allah takdirkan pada kita. Saya tak merasa berbeda dari Anda hanya karena saya telah kehilangan pendangaran saya, karena semua manusia di mata-Nya adalah sama, yang membedakan adalah tingkat ketakwaannya.

Namun apakah realitas yang terjadi di sekeliling kita? Berapa banyak dari kita yang menggadaikan dan mengabaikan iman dan keyakinan hanya demi memburu kepuasaan materi (duniawi) semata? Dan apakah kita takut kehilangan sesuatu yang berwujud materi , apalagi saat-saat sedang mengalami kesulitan hingga menguras kesabaran? Bukankah rahmat Allah senantiasa sangat dekat dengan orang-orang yang sabar dan teraniaya? Dan saya mencoba memaknai bahwa “teraniaya” di sini adalah dalam konteks kekinian, yakni ketika kita dihadapkan pada cobaan, entah itu dalam kaitannya dengan hablum-minallah, maupn hablum-minannas. Tak semuanya dalam wujud “teraniaya” secara fisik, tetapi juga bathin, termasuk di dalamnya sebuah kehilangan …
Wallahu a’lam…

Antara Dulu dan Kini

(sekedar berbagi dan mencoba menginspirasi)

Dulu. Ya, dulu.. bagiku menginjakkan sepasang kakiku dan menetap di Yogyakarta adalah sesuatu yang tak pernah aku catat dalam buku harianku. Mengenyam di bangku kuliah adalah sesuatu yang tak pernah terlintas dalam benakku. Bertemu, berkawan, dan bergaul dengan orang-orang hebat dan inspiratif di univeritas negeri terbesar dan tertua di Indonesia adalah selaksa pungguk merindukan rembulan, tak pernah ada. Ya, tak pernah ada dalam pikiranku. Saat terjaga maupun tiada terjaga.

Dulu. Ya, dulu… Jauh dari orang tua dan hidup mandiri saat aku belum selesai mengeja tentang kehidupanku tak pernah terlintas dalam laci pikiranku. Mungkin saat yang lain duduk berlama-lama, bersantai ria di starbuck, bermanja dengan secangkir kopi hangat yang senantiasa mengepulkan simbol-simbol kehidupan yang gamblang, aku masih berkutat dalam pengembaraan yang entah dan tak…

Dulu. Ya, dulu… Mengenyam pendidikan di MTs Negeri bahkan adalah sesuatu yang sebelumnya tak pernah menyibukkan diri dalam pikiranku. Dan duduk di bangku SMA Ma’arif adalah sesuatu yang asing. Dan karena demikianlah, dulu aku adalah sosok yang senantiasa dianggap asing. Pula, sampai sekarang mungkin aku masih dan tetap akan berada dalam kaca mata asing. Atau memang aku yang mengasingkan diri? Entahlah…

Kini. Ya, kini. Aku senantiasa bertahmid, bertakbir pada Sang Rahman dan Rahiim, sembari melantunkan "fa bi ayyi alaa irabbikuma tukaddibaan"

Kini. Ya, kini. Aku semakin yakin bahwa apa yang terjadi adalah yang terbaik bagi umat-Nya. Entah Dia menghadirkan secangkir kopi kala kita mengantuk dalam kekosongan. Secangkir es kala kita tergolek dalam sahara. Atau. Saat Dia menghujamkan batu-batu cadas dan membubuhkan jalanan berkelok di depan kita. Semua itu. ya, aku katakan sekali lagi, semua itu tinggal bagaimana kita menyikapi dan memaknai esensi takdir yang sesungguhnya. Ia hadir bukanlah sebentuk tembok berlapis baja yang merintangi perjalanan kita. Ia sekedar UJIAN KEIMANAN dari Sang Maha. Sebentuk cinta kasih-Nya, untaian mahabbah-Nya.

Kini. Aku tak lagi menggugat atas takdir-Nya. Dulu, aku seringkali menegutuk esensi kehidupanku. Entahlah, tak pernah terlintas dalam benakku untuk kembali terlahir sebagai seorang tuna rungu ketika aku masih berusia sebelas tahun. Sungguh, aku hanya seorang bayi yang mengharuskan belajar dari nol: merangkak, berdiri, lalu berlari.

Kini, aku bersyukur. Senantiasa menguntai rasa sykur tiiada terkira pada Sang Khaliq. Tak terkira, bagaimana rasanya bisa mengenyam di bangku kuliah dengan beasiswa. Tak pernah terbayangkan, bagaimana rasanya hidup mandiri, jauh dari orang tua, tak lagi menjadi tanggungan orang tua. Namun di luar itu, aku sadar. Bahwa orang tua senantiasa menitikkan air mata dalam setiap munajatnya, menguntai do’a untukku.

“Tanpa pernah di minta, yang di rumah hampir tiap usai shalat mendoakanmu…”

Itulah sms yang aku dapatkan dari orang tua antara 2-3 kali selama merantau di Kota Pelajar. Sungguh, aku semakin yakin, bahwa aku tidaklah berjalan, menyusuri titian demi titian ini hanya seorang diri. do'a orang tua adalah intinya. lebih ijabah..

Dan kini. Aku semakin bersyukur atas nikmat yang satu lagi. sebelumnya, seringkali aku harus pusing tujuh keliling memikirkan biaya hidup dan kost. selain karena tak pernah lagi dapat kiriman dari orang tua, juga kegiatan menulisku yang menurun dratis.

Alhamdulillah, sejak lebih dari sebulan lalu aku memulai babak baru. Tak lagi harus bersusah payah untuk uang kost dan biaya hidup. Semua itu berkat mereka yang sekarang aku panggil Bapak-Ibu selama di Jogja. Ya, mereka adalah orang tua kedua bagiku, orang tua angkatku selama merantau di Kota Gudeg.

Bahkan, aku semakin terharu betapa baiknya mereka. Bapak berprofesi sebagai dosen Fakultas Teknik UGM, sedangkan Ibu yang berlatar pendidikan farmasi mengurusi berbagai bisnis. Entahlah, apa yang harus aku ucapkan lewat kata-kata. Belum lama tinggal bersama mereka aku telah mengahabiskan biaya dari Bapak Angkat lebih dari 600 ribu. Itu adalah biaya untuk periksa pendengaranku. Dan kini, Subhanallah wal hamdulillah, mereka sedang mengusahakan alat bantu dengar buatku yang harganya mencapai jutaan...

Sungguh, bagiku itu jumlah yang tak kecil. Aku hanya anak seorang guru swasta yang gajinya tidak lebih dari 850 ribu, itupun bukanlah penghasilan bersih. Bahkan rumahku hanyalah berdinding papan dan anyaman bambu, hanya lantai yang sudah dikatakan layak, campuran keramik dan plester. Namun, aku bersyukur di rumah sederhana yang sejuk itu senantiasa bersemayam rahmat Allah. Di tempat yang sederhana itulah, sejak puluhan tahun lalu, hampir tiap hari anak-anak menggapai rahmat Allah dengan mengaji ke bapak dibantu asisten santri senior yang sudah naik tingkat mengaji beberapa kitab kuning. Selama puluhan tahun juga, mereka tanpa kewajiban membayar biaya, alias gratis. Namun, sebagian orang tua mereka kadangkala menyumbang seadanya, semacam shodaqoh, tanpa pernah kami minta. dulu kami sempat nanya, "kok gak kayak di tempat Pak Y yang tiap bulan wajib iuran?". bapak hanya menjawab singkat "Tak perlu!". dan kini aku mulai tahu apa jawaban yang sesungguhnya di mata Bapak.

Dan satu lagi, di rumah baru selama di yogya yang terasa damai ini, aku menemukan kembali tentang apa yang aku harapkan. Shalat tahajjud th diwajibkan oleh orang Ibu angkat. Saat masih kost, seringkali aku kesulitan saat hendak berwudlu dini hari. Kini semakin mudah. Di sisi lain, adalah suatu nikmat tersendiri mereka menyediakan ustadz untuk mengajarkanku dan 3 penghuni lain tentang agama. Bahkan, aku sempat menemani Pak Ustadz –begitulah kami memanggilnya- berdakwah di lereng merapi. Di lereng merapi inilah, secara tak terduga aku bersilaturrahim dengan peraih Piala Kalpataru, Bapak Syambyah. Bahkan, entah bercanda atau tidak, dalam suatu kesempatan usai mengaji, Pak Ustadz berkata kepadaku “Kapan-kapan aku ajak ke Surabaya buat berceramah di sana!”

Aku terkejut. beliau adalah memang pengasuh Madrasatul Qur'an AL Anwar, SUrabaya. dan aku senang karena beliau sama-sama dari NU. Memang ingin sekali aku berbagi terhadap sesama. Ingin sekali berbagi tentang dunia. Tentang suka dan duka. Dan yang pasti, aku mencoba mengamalkan pesan bapak kandungku “jadilah sosok yang menjadi teladan masyarakat!”.

Aku mencoba melakukan itu. Karena satu hal, Aku tak mampu melaksanakan pesan bapak untuk menggantikan posisinya di kampung halaman. Dan aku telah melimpahkan amanah itu kepada adikku, yang insya Allah sanggup memegangnya. aamiin..

Dulu, aku barangkali adalah rentetan kisah using yang layak dibuang. Akan tetapi, kini aku tak pernah lagi merasa hal yang demikian. Karena aku percaya. Karena aku yakin akan takdir-Nya.

Dan satu lagi, meski aku hanya seorang tuna rungu. Yang sebagian besar menganggap berbeda dari Anda. Namun TIDAK bagiku. SETIAP MANUSIA DI MATA-NYA ADALAH SAMA, YANG MEMBEDAKAN ADALAH TINGKAT KEIMANAN DAN KETAKWAANNYA….

Minggu, 02 September 2012

Engkaukah Itu?




di luar
hujan merintih
menderaskan malam
di dalam
di dalam kepalaku
hujan berjelaga
:termangsa
ketika kata-kata dan sebait janji tanpa rimba
ketika lenggak-lenggok bayangmu mencumbu sekujur lukisan kamarku
ketika kasih bersemilir
di atas pijar lilin
meski tak memijar gerbong demi gerbong kereta
yang menyemai rindu di tepian alis mata
sebab kasih pun takkan purna
mengeja baitbait rindu
dalam rerimbun akasia yang membelai malam
engkaukah itu
yang bernama kelam?

mengejalah!
kemana jejak kita takkafurkan sunyi
dalam iqra dini hari

25/11/2010