Hidup adalah sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban, dan jawaban itu hanya bisa aku dapatkan dengan menjalaninya. maka tak sepantasnya aku berpaling dari hidup. meski aku telah tersingkir pada lubang "kematian" hidup; karena menulis. Ya, menulislah yang membuatku tetap hidup dalam kehidupan. dan menyadarkan kepadaku, bahwa hidup adalah "kehidupan", bukan "kematian....
Ia yang perlahan-lahan mengembalikanku untuk "mendengar", mendengar lewat hati.....
Telah kupilih dirimu yang berlenggak-lenggokan riak hening di sekujur pandanganku yang bersemayam taman-taman keharuman di atasnya, berdiri kokoh pucuk-pucuk sutera ungu Tapi...
engkau kembali dalam ujud lain...
di setiap lekuk kita berbicara mengenai taman-taman firdausi
ada sejengkal titik jengah yang terus mendesah..
hari ini aku pun masih sempat menyua bayang-bayang itu
kembali dalam reruntuk mungil di antara dedaunan bambu yang mengering
Sepertinya tak ada dalam bayanganku, tak ada dalam sebuah catatan yang terselip di antara lembaran-lembaran yang telah aku pijak bersama sederet kata-kata yang aku rangkai...
menapaki sebuah musim yang gersang, aku temui lagi kegersangan yang sebelumnya sempat semi...
kini, aku kembali mempertanyakannya, pada senja yang beranjak kabut, sore ini...
mungkinkah gerimis luruh dan menebarkan halimun yang menggelegar, menyenandungkan badai dalam kubangan rindu yang mencekam? dan membuat sayao-sayapku patah?
aku tak sanggup menginjaknya. melihat pun adalah sebuah obituari yang mendekatkanku pada lubang itu....
Di erakemajuan zaman -termasuk di dalamnya kemajuan teknologi- seperti sekarang ini, kedudukan Tuhan sebagai sesuatu yang sacral perlahan telah memudar, bahkan bagi “manusia” tertentu benar-benar telah hilang di telan senja yang sebelumnya kabut. Mereka tak lagi dapat membedakan antara tuhan dengan Tuhan. Baginya, keduanya sama-sama manifest nyata yang muncul sebagai “reaksi” atas tuntutan masa yang lebih mengedepankan konsep rasio ketimbang konsep spritiulitas.
Membedah “Tuhan” dengan dalih teknologi telah memanusiakan manusia, teknologi lebih hebat dan canggih, bahkan tidak sedikit dari kita menganggap teknologi dapat meng-ijabah do’a manusia telah mengantarkan manusia pada titik yang paling nadhir, mengantarkan manusia pada sebuah kehancuran, bukan mengantarkan manusia pada sebuah “kemajuan” seperti yang akhir-akhir ini di yakini sebagian besar dari kita. Dan, bagi siapapun kehancuran adalah sebuah awal menuju kematian. Kematian adalah akhir dari segalanya. Maka anggaplah kita berada pada fase awal menuju kematian itu. Namun, sebelum kita benar-benar mati ada waktu bagi kita untuk kembali “hidup”, meski kesempatan untuk hidup hanya sedetik saja. Namun tak mengapalah, karena nantinya kita akan mendapatkan hidup kita yang abadi, kelak. Insya Allah.
Mebedah Tuhan lewat berbagai konsep rasionalitas sebagi dampak kemajun teknologi justru bukannya manusia menemukan Tuhannya. Ia hanya menemukan tuhan sebagai manusia, sebagai mahluk, bukan Tuhan sebagai Yang Abadi. jika diakui secara jujur dapat saya asumsikan bahwa sebagian besar dari kita adalah penganut atheis modern. Secara kasat mata ia memang percaya dan meyakini Tuhan itu ada. Dan semua itu dapat dibuktikan dengan adanya pengakuan pada diri mereka terhadap salah satu dari agama. Namun dibalik semua itu ada sesuatu yang tersembunyi pada diri mereka. Di mana agama tidak lagi sebagai sesuatu yang di agungkan, sesuatu yang sacral, termasuk di dalamnya posisi Tuhan.
Kepercayaan terhadap Tuhan hanya sekedar dijadikon simbolisasi sebagi penguat bahwa ia adalah mahluk yang ber-Tuhan, meski sejatinya ia adalah mahluk yang ber-tuhan-kan mahluk, BUKAN TUHAN. Bukti konkret tentang semua itu dapat kita saksikan dalam realitas di masyarakat kita. Korupsi dan mafia hukum, maupun mafia peradilan yang semakin kentara dan membuat bangsa ini seperti baru saja melakukan operasi bedah plastic bukan menjadi barang langka karena hampir tiap hari kita melahapnya. Yang lebih ironis adalah generasi muda sekarang yang lebih banyak bergaya hidup hedonis dan konsumtif. Pertanyaannya, bukankah mereka secara terang-terangan mengaku beragama Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan lain-lain?
Sejatinya semua itu terjadi sebagai buah dari “pembedahan” terhadap Tuhan, buah dari keraguan demi keraguan yang telah menggunung dan kemudian muncul sebagai bom waktu. Meski sejatinya keraguan itu tak perlu ada jika kita lebih mengedepankan konsep sepiritualitas dibandingkan konsep rasionalitas. Manusia dengan segala kemajuan teknologi yang merupakan hasil dari konsep rasionalitas, dengan berbagai konsep and metode membedah Tuhan dari berbagai segi. Namun ironis, seperti yang telah saya sebutkan bagian terdahulu, ia tidak menemukan Tuhan, justru menjauh dan mengingkari adanya Tuhan. Tuhan telah dianggap mati, sebagaimana pendapat Nietzche, karena itulah mereka bisa melakukan apa saja yang mereka mau tanpa adanya rasa takut terhadap Tuhan. Tuhan telah dianggap sirna karena tidak mengabulkan setiap keluh kesah dan pengduannya, justru ia mendapatkannya dari mahluk; tuhan.
Lahirnya renaissance, adalah awal dari munculnya pencarian terhadap tuhan. Hingga kini penecarian terhadap tuhan masih terus berlanjut dan tak terbatas. Ketidakterbatasan itu juga tidak lain sebagai akibat sifat dasar manusia yang cenderung tidak merasa puas terhadap apa yang telah diraihnya. Hal ini tidak lain karena kita telah kehilangan Tuhan, telah kehilangan legimitasi Tuhan dalam jiwa kita. Stelah itu muncullah tokoh-tokoh yang sampai sekarang di-tuhan-kan, antara lain Rene Descartes, Pascal, Galileo, Baruch Spinoza, John Locke, Voltaire, JJ Rosseau, Immanuel Kant dan masih banyak lagi.
“Keberhasilan” Descartes dalam mencari tuhan telah melahirkan sebuah pemikiran yang revolusioner, pemicu pencarian tuhan atas jiwa-jiwa yang lain; jiwa yang rindu dan ragu akan kebaradaan Tuhan. Dimana ia melahirkan gagasan cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), pemicu pembedahan atas –keberadaan- Tuhan. Tuhan diposisikan sebagai sesuatu yang layak dicari “pengertian”-nya, meski sejatinya makna dan kedudukan Tuhan telah jelas dan nyata, sebagai sesuatu Yang Agung, Yang Sempurna, ada di mana-mana.
Yang menjadi pertanyaan kita, akankah hati dan jiwa kita masih ragu akan keberadaan Tuhan, hingga kita akan terus membedahnya? Apakah kita akan menemukan Tuhan meski sejatinya Tuhan telah kita temukan, sebab Dia Yang Agung ada di mana-mana. Dia ada di dalamhati dan jiwa kita. Dia ada dalam ruh kita. Dia ada dalam keraguan kita. Dia selalu ada. Ya, selalu ada di tiap hembusan nafas kita yang member kita sebuah hidup bernama kehidupan. Tak pernah pergi. Tak pernah menjauh dari kita.
Membedah Tuhan hanya semakin menempatkan kita pada posisi yang paling dangkal, meski kita menganggapnya masuk akal.
Masih layakkah kita membedah Tuhan???
Tulisan lama yang berawal dari statusku yang baru di selesaikan hari ini (29/9/11). ^_^
haruskah aku tulis sebuah prasasti kerinduan
pada bait-bait musim
kala malammu memberiku untaian jejak-jejak purba yang tak sanggup sepoikan sepanjang semi?
dan
di penghentian jarak yang tak lagi aku nampakkan
pendar cahaya mulai menikam
menebas iringan ceracau sendu yang menasbihkan malam
bukankah telah aku suguhkan segelas teh hangat sebagai hidangan pembuka
tiap kali musim memulai
dari selubung altar kenang?