“Kepemimpinan adalah
kemampuan menginspirasi orang lain, tidak sekadar mempengaruhi orang lain”
Kata-kata itulah yang aku
dapat pada suatu siang. Saat terik seringkali datang dan pulang tiada kabar.
Usai gerimis mengharap iba, semalaman. Dan. Akhirnya pun luruh, meski aku tak
tahu berapa riak gerimis yang luruh di atas noktah-noktah kehendak suci-Nya. Ada
kalam yang seringkali tak pernah kita sua. Atau kalau tidak, tak pernah kita
hirau. Kata-kata itu terangkai dalam rona kebiruan, pada sebuah papan tulis
putih. Ada desis yang menyelindap di sekujur ruangan berundak yang sejatinya
ingin sekali aku berlari dan rebahkan tubuhku di atas kasur. Namun, kata-kata
itu kembali menyeretku pada masa lalu. Pada kenangan yang kadang-kadang ingin
sekali aku lenyapkan dalam tiap gundukan-gundukan bersemayamkan nisan yang
hampir tiap hari bersahutan. Selayaknya burung Jalak Jawa yang dulu sering aku
temui, senantiasa aku dengar kicaunya saat-saat membasahi sekujur tubuhku
dengan dinginnya air bercampur embun pagi yang berbaur dalam rona dan warta
yang sama, yang nun jauh di sana; kampung halaman di Purbalingga. Namun ialah
bernama masa lalu; yang mungkin takkan pernah terulang lagi. Andaikan terulang
lagi, ia tidaklah sama persis seperti dulu. Akan tetapi, aku sadar, kenangan
adalah sebuah tempat aku bercermin, menatap wajahku, tubuhku, dan segala
bayangku; ia yang bernama masa depanku.
Aku kembali bertanya
pada diri sendiri, adakah yang salah denganku? Namun kali ini, kata-kata itu
yang menjawabnya; “TIDAK”. Sebuah kata yang singkat. Dan. Sederhana. Namun, ia
memberiku lanskap yang tidak singkat. Pula, tidak sesederhana menyuapi mulut
kita dengan semangkuk indomie di dalam kost, atau burjo. Tidak pula serupa
memberi setangkai mawar merah pada sang kekasih di sepanjang Jalan Ahmad
Jazuli, yang semerbak meranum itu.
Aku memang berbeda
dengan kamu, dia, dan tentu saja adalah
kalian. Meski demikian, bukankah tidak ada manusia yang tercipta dalam kondisi
sama? Dalam warta yang sama? Bukankah hari senin ini tidaklah sama dengan senin
lalu, meski namanya tetaplah sama? Atau berbicara tentang Obama, Palestina,
Israel, bahkan seorang Ruhut Sitompul sekalipun, tidak ada yang sama dan serupa
dengan mereka.
Barangkali yang
menyamakan Aku, kamu, dia, dan Kalian adalah sama-sama memiliki mimpi.
Sama-sama memiliki keinginan. Dan yang terakhir, kita berada dalam dunia yang
sama, yang di dalamnya bersemayam sebuah kata bernama “cita-cita”. Namun,
sebagai sebuah pengejawantahan hidup, perwujudan dan jalan menuju ke arah sana
tidaklah sama. Meski namanya tetaplah sama. Selalu ada dan bersemayam di
dalamnya perbedaan dan ketidakterpaduan, meskipun hanya sebuah noktah mungil
yang hanya sanggup kita lihat dengan selingkar LUV, atau sebuah mikroskop yang
terakhir aku temui di SMA, dua tahun yang lalu.
Cobalah engkau lihat
diriku, tentu saja aku sangatlah mencolok –atau mungkin kurang sreg, begitu
berbeda. Bahkan, engkau sanggup membandingkanku denganmu seumpama langit dan
bumi. Selaksa api dan gerimis. Serupa kontradiksi antara lukisan Hogarzt, Frans
Hall, Rembrandt, hingga Affandi yang
sangat jauh berbeda dibandingkan lukisan adik mungilku yang baru sanggup
mencoret-coret tanpa rupa dan rona. Bukankah begitu berbeda?
Seperti yang tertera
pada papan tulis itu, “Kepemimpinan adalah kemampuan menginspirasi orang
lain”. Aku mengangguk. Aku paham. Aku mengiyakan. Dan tentunya semakin
memupuk cahaya keoptimisan yang sedang aku bangun dengan setumpuk masa lalu,
bernama kenangan. Yang dibalut dengan sejumput bayang-bayang, hingga do’a dan
air mata orang-orang di sekelilingku, terutama ayah dan ibu. Sebab aku percaya,
pada kata-kata yang belum lama ini aku sua dalam sebuah pengembaraanku menapaki
musim yang dulu sempat aku tanggalkan. Yang dulu sempat terngiang dari sepasang
bibir sang ayah; guru dari segala guruku; man saara ‘ala darbi washala, Barangsiapa yang berjalan pada jalannya, maka
ia akan sampai pada tujuannya.
Bukankah telah nampak jelas
dan nyata bahwa aku berbeda dengan engkau? Namun, aku tetap memiliki satu
keyakinan, yakni senantiasa mencoba untuk tetap berjalan. Membaca dan memaknai
hidup. Karena bagiku, hidup dalah kehidupan, bukan kematian. Seperti yang
sempat Aku katakan pada engkau, pada kalian, tentang prinsip hidupku. Yang
kemudaian aku –tentunya bersama engkau dan kalian- rangkai menjadi sebuah pohon
berbahan kertas. Bersimbolkan reranting, dedaunan, akar, hingga ranum bunga dan
lebat buah yang entah. Lalu aku tuliskan pada bagian bawah , sebagai prinsip
hidup seperti yang telah diwartakan pemandu. Meski sederhana, selengkapnya
adalah;
“Hidup adalah sebuah
pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Dan, jawaban itu hanya bisa kita dapatkan
dengan menjalaninya. Maka tak sepantasnya kita berpaling dari hidup”
Atas alasan itulah, aku
tegaskan lagi, senantiasa tetap berjalan tegak ke depan. Meski aku satu-satunya
yang berbeda di antara kalian, di antara deretan calon-calon pemimpin bangsa
yang “normal” dalam kadar konsensus bernama struktur sosial dalam hegemoni kenormalitasan,
aku tetap berpegang pada keyakinanku. Untuk menjadi seorang pemimpin, tak harus
“normal”, bukankah Gus Dur adalah penyandang disabilitas? Apakah masih
diragukan? Ke-“normal”-an yang bagaiamanakah menurut kita?
Aku yakin, di luar sana
tidak sedikit orang-orang yang sepertiku. Bedanya, mereka tidak “seberuntung”
aku. Meskipun aku sendiri tak pernah merasa “beruntung”. Label “beruntung’
hanyalah “gelar” yang disandangkan orang lain. Apalah artinya kita bahagia jika
orang lain menderita? Bukankah itu sama saja kita membuat luka semakin
menganga?
Tengoklah sejenak,
mereka yang sepertiku, mereka yang tak sanggup melangkah selayaknya sepoi yang
berhembus dari tenggara. Menghantarkan kedamaian dan kesejukan ditengah hawa
terik yang mencabik, dan mencekik. Maka, ingin sekali aku ulangi perkataanku
yang sempat terucap saat kita-kita masih bersama –dalam kebersamaan pula- di
sebuah ruangan di kampus biru; Sekolah Vokasi UGM:
“Janganlah memandangku
untuk menilai mereka; tetapi pandanglah mereka untuk menilai diriku!”
Ya, tidaklah pantas
memandangku saat engkau hendak membaca, menganalisis, untuk selanjutnya
mengambil kesimpulan atas mereka. Mereka yang selama ini terpinggirkan. Mereka
yang selama ini bersemayam dalam dunianya sendiri, yang hening dan sunyi, dan
kadangkala hanya berteman dengan sepi dan impian-impian semu yang senantiasa
kita gembar-gemborkan. Atau, kita dapat menyaksikan mereka yang sengaja
dijauhkan dari masyarakat karena satu hal saja: perbedaan. Meski sejatinya
orang-orang di luar mengatakannya dengan satu kata yang membuatku miris; CACAT.
Ingin sekali aku katakan, bahkan ingin sekali aku teriakkan dengan lantang:
TIDAK ADA MAHLUK CIPTAAN-NYA YANG TERCIPTA CACAT.
Sebab, aku yakin Tuhan
tak pernah menciptakan manusia dalam keadaan yang sia-sia, yang cacat. Sebab
Dia-lah Yang Maha Sempurna dalam segala sifat-sifatnya, baik yang Wajib,
Mustahill, maupun yang Jaiz, termasuk di dalamnya bagaimana Sang
Khaliq mencipta sang mukhaliq. Yang menciptakan mahluknya dalam keadaan yang
sama, yang membedakan adalah tingkat ketakwaannya. Cobalah kita tengok Al
Hujarat ayat 13, An-Nisa ayat 49 dan 58, dan masih banyak lagi yang tidak dapat
aku sebut satu per satu.
Semakin sadar, dan
dalam kesadaranku. Bahwa tak perlu banyak kata, atau aksi yang menggebu-gebu.
Yang hendak aku lakukan kini adalah bagaimana aku dapat menginspirasi orang
yang ada di sekitarku. Dan tentu saja, ingin sekali orang-orang yang sepertiku
sanggup mengikuti jejakku. Yakni, jejak-jejak yang sennatiasa meninggalkan
tanda-tanda yang ranum, yang mananggalkan simbol-simbol cerah dan bercahaya
bagi saudara-saudaranya. Tentu saja, dengan mengabaikan jejak-jejakku yang
merona hitam. Sebab, tiadalah manusia yang benar-benar sempurna. Selalu ada salah
dan khilaf yang senantiasa bersemayam pada diri manusia, termasuk diriku.
Tugasmu, tugas kita, adalah melakukan filterisasi atas setiap rangkaian cerita
yang ada.
Aku memang tak pernah
berpikir, apa lagi menawarkan diri untuk menjadi seorang pemimpin. Sebab
kehadirannya bukanlah sebuah ambisi, sebuah perburuan, apalagi perjudian. Ia
hadir dan melekat bagi siapa saja yang sanggup menginspirasi orang lain. Dan
itulah yang aku dapatkan pertama kali di sepanjang perjalananku yang tiada
pernah aku duga ini; “Kepemimpinan adalah kemampuan menginspirasi orang
lain”.
Sebelumnya, tak pernah
bersemayam dalam laci pikiranku, tak pernah mengendap dalam sekujur rumah sunyi
dan kerahasiaanku tentang ini; kepemimpinan adalah menginspirasi orang lain.
Sekarang, aku semakin mempertebal keyakinanku akan sebuah gerimis yang selalu
kucoba hadirkan pada padang pasir orang-orang yang singgah di sekelilingku,
terutama mereka yang selama ini dianggap sama sepertiku: DIFABEL.
Kini, engkau semakin
jelas mengenal siapa diriku. Lewat kisah dan cerita yang kita rangkai bersama
engkau tahu bahwa aku ini berrbeda. Namun aku perlu mengatakan, “Aku memang berbeda,
namun atas alasan itulah Aku tetap ada”………..
Yogyakarta, 18/12/12 00:17 WIB
[*]
Tulisan ini saya persembahkan
sebagai ucapan terima kasih tak terhingga kepada Panitia dan teman-teman training
“MAKSIMAL” (Mahasiswa AKtif, Pretasi Optimal) yang diselenggarakan
SUBDIREKTORAT PENINGKATAN PERTUMBUHAN
KEPEMIMPINAN BERKUALITAS (PPKB) UGM.