Senat KM UGM dalam Wacana Dinamika Sosio-Kultural*
Menurut Raymond
William (1979), untuk mengambarkan hegemonitas
dalam aktifitas manusia ia mengambil analisis
bahwa jika hegemoni sebagai kebudayaan, secara material ia
adalah produk dari agen yang sadar dan bisa dilawan oleh alternatif sebuah aksi
. Jika hegemoni adalah struktur ideologi, maka ia
akan menentukan subjektivitas dari subjek dengan cara-cara yang secara “radikal”
mengurangi kemungkinan sebuah aksi. Di sisi lain, pada dasarnya hegemoni sebagai struktur adalah masalah penafsiran tekstual. Hal tersebut mengindikasikan bagaimana
suatu hegemonitas berkembang dalam suatu ruang yang bersifat relatif-intuitif. Karena
bersifat relative-intuitif, suatu hegemonitas tidaklah bernilai sama dalam
setiap pandangan manusia, meskipun pada umumnya mengikuti sebuah consensus. Hal
ini karena umumnya hegemonitas adalah hasil dari consensus itu sendiri.
Hegemonitas pun melaju dalam sebuah paradoks yang “dibenarkan”. Kalau
tidak, kehadirannya adalah sesuatu yang dipaksakan. Hegemonitas juga berusaha
mengembangkan dirinya dengan cara-cara yang telah diakui sebagai “kebenaran”.
Meski demikian, hegemonitas tak sepenuhnya absolut, hal ini berdasarkan sifatnya
yang relatif-intuitif, serta dari sudut pandang struktur adalah masalah
penafsiran tekstual. Hal ini pula yang terjadi pada realitas penyandang difabel
(disabilitas) di Indonesia. Mereka adalah sekelompok orang atau individu yang
berada dalam hegemoni kenormalitasan. Hal tersebut karena mereka tidak memenuhi
syarat sebuah konsensus bahwa individu tersebut tidak memenuhi syarat
“sempurna” atau “normal” layaknya manusia kebanyakan. Oleh karena disabilitas berada
dalam kungkungan hegemonitas masyarakat yang –katanya- normal, hegemoni membawa
mereka tidak hanya sebagai kaum minoritas, tetapi juga sebgai kaum yang
terpinggirkan. Lalu bagaimanakah reaksi kita sebagai mahasiswa, sebagai
generasi penerus pemimpin bangsa?
Tulisan ini tidak bermaksud “menghukum”, “mengadili”,
apalagi “menuntut” pihak-pihak yang merasa menjadi objek dari tulisan yang seharusnya
tidak saya tumpahkan dalam coretan
ini. Akan
tetapi hal ini –dalam pikiran saya- adalah sesuatu yang setidaknya mendapat label “obyektif”. Meski demikian obyektif tidak
sepenuhnya absolut, selalu ada celah dimana keabsolutifitasan mencipta
lubang dan tak kasat mata.
Bagi civitas akademika UGM sudah pasti sedang berada dalam
”euforia” Pemilihan Raya
(Pemira). Meski dalam pandangan saya hanya pada tataran wilayah tertentu saja
yang terlihat menyambut hajatan besar setiap setahun sekali ini. Kita dapat
belajar berdemokrasi, memilih dan dipilih, atau kalau tidak kita juga dapat
belajar tentang bagaimana “bertransaksi” komoditas. Selebihnya, cenderung
adem-ayem. Barangkali hal ini memang identik dengan mahasiswa jaman sekarang
yang lebih condong ke arah
pragmatis semata. Alhasil, tidak sedikit mahasiswa yang lulus dengan
predikat “hero to zero”, dari pahlawan yang dielu-elukan masyarakat
sebagai “siswa jenjang pendidikan tertinggi” namun terjun bebas menjadi
seorang pecundang ketika berhubungan dengan masyarakat. Meskipun dalam tataran
kajian sosio-humaniora, kita senantiasa dituntut untuk mengejawantahkan
nilai-nilai kedirian dalam konteks interaksi sosial, dimana
proses interaksi itu tidak senantiasa “putih-putih” saja, selalu ada yang
‘”hitam-hitam”, yang bersanding dalam bahasa bernama “problematika”.
Menjelang Pemira yang tinggal beberapa minggu lagi,
justru saya –untuk menghindari kata ‘kita’- menangkap adanya
kekurangmaksimalnya kinerja BEM KM UGM, maupun Senat KM UGM, terutama menyangkut
dunia yang saya geluti, yakni dunia difabel. Saya hendak menyoroti UU KM UGM No
3 pasal 16 tentang syarat bagi calon senat mahasiswa jalur independen, posisi di mana saya hendak turut meramaikan
persaingan. Dalam poin f, tertulis:
“SEHAT JASMANI DAN ROHANI”
Sejenak, saya merenung, kemudian berpikir. Ada sesuatu
yang mengganjal ketika hendak mengeluarkan kata-kata ini. Tapi toh,
akhirnya tetap keluar juga. Sebagai satu-satunya mahasiswa penyandang tuna
rungu di UGM, saya benar-benar kecewa terhadap pembuat kebijakan, yang
–setidaknya- membuat saya tidak memenuhi persyaratan yang diajukan. Sepertinya,
pembuat kebijakan (UU KM UGM) yang notabene adalah para pemimpin masa depan
bangsa, mahasiswa yang digadang-gadang dapat memberi perubahan ke arah kemajuan
bangsa justru tak mampu mengikuti dinamika yang terjadi di luar sana. Baik
posisi di BEM maupun Senat, merupakan batu loncatan untuk melangkah ke wilayah
“pertarungan” yang sesungguhnya, yakni realitas sosio-curltural masyarakat.
Sebagai sarana “batu loncat” adalah hal yang bijak
jika setiap kebijakan yang dibuat senantiasa mencerminkan, atau kalau tidak
mampu membaca dan menempatkan sesuatu yang terjadi diluar sana dalam kerangka
yang sama namun dalam konsep yang lebih mikro. Ditengah masyarakat yang kurang
peka terhadap keberadaan difabel, meskipun pemerintah telah mengesahkan UU No
19 tahun 2011, yang tidak lain merupakan ratifikasi dari The Convention on
the Rights of Persons with Disabilites (CRPD) yang dicetuskan PBB,
seharusnya mahasiswa menjadi penggerak utama dalam mengarahkan kesadaran (consciousness)
masyarakat. Namun apa yang terjadi, justru kita malah meng-copy paste.
Apalagi UGM secara yuridis-Konstitutif berada di
wilayah hukum DIY, di mana telah ada Perda No 4 tahun 2012 tentang hak-hak
penyandang difabel, termasuk di dalamnya kewajiban-kewajiban bagi siapa saja
yang berada di wilayah “kekuasaan” DIY. Tapi, apakah yang terjadi? Sebuah
realitas yang tak sepatutnya dipertontonkan BEM dan Senat KM UGM.
Niat untuk mencalonkan diri jadi Senat KM UGM tidak
bertendensi pragmatis semata, akan tetapi lebih didasarkan mencoba memberi perubahan bagi bangsa ke arah yang
lebih baik. Dan saya hendak memulai perubahan dari lingkungan yang selama ini
dekat dan melekat pada diri saya, yakni kehidupan difabel. Lewat Senat KM UGM, saya akan merangkul mahasiswa untuk menciptakan kampus
UGM yang inklusif, peka terhadap masyarakat marginal, terutama penyandang
disabilitas. Ketika pihak rektorat sudah mendukung perjuangan saya, target
berikutnya tentu saja adalah mahasiswa kampus biru ini.
Usai menimbang-nimbang setidaknya saya mengambil
beberapa kesimpulan terkait UU KM UGM yang setidaknya kurang menjangkau seluruh
elemen civitas akademika UGM.
Pertama, kalangan
pembuat kebijakan kurang memahami dan mengikuti dinamika yang berkembang di
masyarakat. Kedua, budaya copy-paste yang setidaknya masih
terlihat. Boleh jadi kebijakan yang dibuat adalah hasil copy-paste dari
aturan lama, kalau tidak, ya dari aturan sejenis yang ada di masyarakat. Namun,
ketika masyarakat sudah berada dalam hegemoni kenormalitasan, di mana yang
dianggap tidak “normal”( dilabelkan ke kaum difabel) adalah tidak pantas turut
berpartisipasi karena tidak memenuhi criteria “SEHAT JASMANI DAN ROHANI”.
Ketiga, budaya
hanya sanggup berbicara, namun tidak sanggup memahami secara kontekstual,
apalagi mewujudkannya dalam tataran parksis. Saya yakin, seringkali pembuat
kebijakan yang notabene adalah para mahasiswa yang selama ini menjadi
“mahasiswa teladan” seringkali berkoar-koar, “Jangan memandang sesuatu dari
sampulnya saja!!”
Saya sendiri heran, sebab saya yakin para pembuat
kebijakan pernah melihat mahasiswa difabel di UGM. namun, kenapa kebijakan yang
dibuat justru tidak mengayomi kaum difabel? Bahkan, saya sempat menjadi pemandu
PPSMB PALAPA UGM yang mewawancarai saat proses seleksi adalah anak-anak BEM KM
sendiri. saya juga mengenal Mas Zaky, eks Wakil Presma yang mundur sekitar
bulan Agustus lalu. Bahkan saya memilih berniat mencalonkan diri di senat lewat
jalur independent atas saran Mbak Gresika Bunga Sylviana, yang tidak
lain adalah ketua DPF KM UGM. Lalu, apakah ada
yang aneh dan tidak masuk akal? Jikapun tetap
mendaftar, meskipun "diloloskan" ada kemungkinan muncul gugatan
karena legal standing-nya memang demikian adanya.
Saya jadi teringat, ketika sekitar delapan tahun lalu,
ada seorang penyandang difabel (tuna daksa) yang juga mahasiswa UGM melakukan
demonstrasi menolak diskriminasi terhadap difabel yang hendak masuk ke UGM.
Ketika hendak masuk ke rektorat, dia yang berdemo dengan kaum difabel (tuna
netra, tuna rungu, tuna daksa, dll) dan didukung aktifis difabel dihadang
puluhan satpam dan polisi, sebagai ekspresi “ketidakberdayaan” sosok lelaki
yang saya kagumi itu berinisiatif mengambil mic dan berseru:
“Baiklah, saudara-saudara. karena kita tak diijinkan
masuk, marilah kita doakan semoga bapak-bapak ini memiliki anak yang serupa
dengan kita (difabel-pen)!”
Ucapan tersebut kurang
mendapat respon, saat diulang sampai tiga kali semua peserta demonstrasi
menengadahkan tangan ke atas, mengikuti
arahan sang orator, yang kini sudah menjadi dosen di Universitas Barawijaya dan alumni
University of Hawaii.
Ajaib!! Satpam dan polisi langsung menyingkir. Sampai detik ini, kisah demo yang satu
ini sudah cukup
melegenda dalam dunia
difabel/disabilitas, bahkan cukup populer di
kalangan pejuang HAM dan masyarakat marginal . Namun, dalam rentang waktu 8 tahun
tersebut apakah yang telah dilakukan para mahasiswa “normal” di UGM, khususnya
petinggi KM UGM? Justru yang
bergerak adalah kalangan difabel itu sendiri. katanya kampus kita ini kampus
kerakyatan dan kampus pancasila, bung!! Benar nggak toh?
Meskipun
pada akhirnya persyaratan tersebut dihapus setelah tulisan ini menjadi
perbincangan lewat dunia maya, perlu adanya kecerdasan bagi petinggi KM UGM,
termasuk dari kalangan Senat KM UGM dalam membaca dinamika sosio-kultural yang
terjadi di masyarakat, terlebih lagi di lingkungan kampus UGM, salah satunya
adalah isu disabilitas. Dinamika adalah sebuah keniscayaan, sebagai esensi dari
yang namanya hidup dan kehidupan. Sebab, kita yang percaya akan sentuhan Tuhan,
sebagai Yang Maha Kekal dan Berkuasa, takkan mengiyakkan pernyataan Nietzche;
“Tuhan telah mati!”.
Mas Hanif, saya Widodo, penyelenggara acara di RSIY PDHI Kalasan kemarin. Mudah2an kita bisa berkolaborasi terus. Saya berusaha terus untuk mewujudkan kemudahan akses diagnosis dan terapi bagi anak tuna rungu. Mudah2an semua jalan yang kita tempuh dimudahkan.
BalasHapusaamiin...
BalasHapusiya, salam kenal, mas..
kalau ada perlu bisa menghubungi saya di mukhanif.yasin.y@mail.ugm.ac.id.
saya juga berkeinginana utk membantu sesamanya, semoga ke depan kita bisa terus bersinergi....