Ketik di sini

Jumat, 08 Juni 2012

Mendengar Lewat Mata dan Hati

13385631711560512395Perkenalkanlah, saya terlahir normal namun entah mengapa saat usia sebelas tahun pendengaranku hilang, setelah sekitar seminggu bunyi dengung terus-menerus, tiada henti. Tak ada secuil suara pun yang dapat saya tangkap, sesuatu yang sebelumnya senantiasa saya sua. Hanya sunyi yang senantiaa saya rengkuh. Lalu, yang aku rasakan hanyalah sebuah kematian hidup. Ya, semua orang pun tahu. Kematian hidup adalah sesuatu yang menyakitkan. Andaikan disuruh memilih, kematian yang abadi-lah yang saya pilih.

Namun, didikan orang tua sejak dini, terutama didikan agama yang cukup keras, membuat saya belajar banyak pada sebuah realitas. Meski membutuhkan proses yang relatif cukup panjang. Yakni, lebih dari dua tahun. Namun inilah sebuah hidup, tak ada yang serba instan. Tercatat, saya terpaksa keluar sekolah ketika duduk di bangku kelas enam Sekolah Dasar, meski sekitar dua tahun kemudian saya kembali bersekolah. Hal itu juga atas permintaan orang tua, bukan inisiatif saya .


Bagaimanakah saya memulai?


Pertanyaan itu mungkin adalah hal yang jamak. Sesuatu yang senantiasa saya tangkap saat baru pertama kali bertemu dengan orang-orang yang sebelumnya belum pernah saya temui. Sejauh ini saya baru menemukan beberapa jawaban;


1. Diri Sendiri


Menjadi seorang tuna rungu bukanlah sebuah “cita-cita” yang saya catat dalam diary hidup saya. Bahkan pad masa-masa awal dalam diri saya timbul pemberontakan demi pemberontakan. Pemberontakan itu saya wujudkan dalam keputus asaan, penggugatan terhadap takdir Tuhan, hingga seringkali saya merasakan hidup seorang diri.


Saya satu-satunya yang tuna rungu di dalam keluarga saya, bahkan di desa saya. Semakin lengkaplah kehidupan saya sebagai seorang diri. Namun lambat laun berkat didikan agama yang cukup keras dari orang tua semenjak dini, membuat saya dapat menyadari akan hakikat sebuah takdir. Saya sadar, bahwa hidup adalah kehidupan, bukan kematian. Seperti yang selama ini saya rasakan saat masa-masa awal mengalami tuna rungu.


Mungkin dengan meminjam istilah Cynthia J Morton, seorang mantan pasien pada pusat rehabilitasi dalam bukunya “A Helping Hand with Life”,kata Kunci yang membuat perbedaan pada apakah kita sekadar ada di dunia atau menjalani hidup secara penuh adalah usaha, perhatian, tekad dan antusiasme (Morton, 2006:XIV).




2. Libatkan Tuhan


Tak dapat saya pungkiri, bahwa Tuhan adalah pusat segala aktifitas manusia. Begitu juga dengan hidup saya. Ketika saya sedang pada masa keputus asaan dalam menjalani hidup, saya benar-benar alpa akan Tuhan. Hal ini yang sesekali membuat saya menggugat akan takdir-Nya. Eksistensi saya seringkali saya gambarkan sebagai sebuah kunang-kunang yang hanya sanggup berkelip-kelip. Tak lebih dari itu. Ya, tak lebih. Padahal dunia diluar saya begitu gelap dan pengap. Namun, seperti yang telah saya sebutkan pada bagian terdahulu, didikan agama dari orang tua lambat laun membuat saya bangkit dari “kematian” hidup saya.


Selain itu, latar belakang keluarga dari pihak ayah yang hampir tak pernah lepas dari dunia pesantren, cukup mengenalkanku akan hakikat Tuhan, bahkan andaikan saya tidak mengalami tuna rungu, barangkali saya tidak akan berdiri di sini. Kemungkinan besar saya akan mengikuti jeja-jejak saudara saya, yakni menganyam pendidikan di pesantren.


Sampai kini saya senantiasa melibatkan Tuhan dalam setiap aktifitas saya. Saya ingat pesan orang tua yang nun jauh di sana, di kampung halaman; “jangan lupa sholat Dhuha!”. Setiap habis sholat fardhu di kamar kost saya yang berukuran 3X3 meter, saya upayakan membaca Al Qur’an minimal satu lembar. Puasa senin-kamis kadang-kadang saya lakukan, meski intensitasnya tak seberapa alias bolong-bolong.

3. Orang di sekitar kita.

Inilah yang memiliki peran tak kalah penting, selain diri kita sendiri. orang-orang di sekitar saya, orang-orang terdekat saya, terutama orang tua telah memberi kontribusi yang cukup besar bagi hidup saya. Bukan hanya mereka telah membuat saya ada. Mereka dengan penuh ketulusan, cinta-kasih saying, keyakinan akan sebuah takdir Tuhan menerima saya apa adanya. Meski saya satu-satunya yang berbeda di anntara saudara-sadara saya yang lain.


“Tanpa sekolah kamu mau jadi apa?” itulah kata-kata yang terlontar dari ibu saya. Kata-kata yang meminta saya untuk kembali bersekolah setelah hampir dua tahun vakum. Kata-kata itu yang membuat saya sanggup melangkah sejauh ini.


Saya juga berterima kasih kepada orang-orang yang selama ini bertemu dan berhubungan dengan saya, tanpa mereka saya tak tahu apakah dapat singgah di kota pelajar ini atau tidak.


Perlu dicatat, dalam menangangani anak berkebutuhan khusus (children with special needs) peran orang tua memiliki kedudukan yang sangat dominan dalam membentuk identitas si anak. mereka yang selama ini senantiasa dekat dengan kehidupan sang anak. jadi, keberhasilan anak dalam menemukan identitasnya tergantung bagaimana orang tua menerima dan menyikapi sang anak. orang tua yang menganggap mereka adalah monster atau sebuah kutukan Tuhan justru semakin membuat sang anak semakin terjebak pada ruang yang marginal. Berbeda jika orang tua memahami, bahwa hakikatnya tidak ada manusia yang sempurna. Karena kesempurnaan hanyalah milik-Nya.





Bagaimanakah saya memahami dunia saya?
Kini, sudah lebih dari sepuluh tahun saya menjalani dunia saya yang lain. Dunia yang sebelumnya tak pernah saya inginkan untuk singgah dalam hidup saya. Dulu, ia adalah sebuah noktah hitam yang menurut saya tak pantas menodai kesucian saya. Setidaknya demikianlah yang ada dalam kepala saya. Akan tetapi kini saya dengan senang hati menjawab “Inilah Saya!”. Saya bangga –bukan dalam bahasa kesombongan- dengan diri saya, meski ada yang bilang saya ini tidak normal, cacat, dan sejenisnya.

Namun, saya tegaskan, tidak ada manusia ciptaan Tuhan yang cacat! Yang ada hanyalah setiap manusia dia memiliki kelebihan dan kekurangan. Karena tidak ada mahluk ciptaanya yang bersifat sempurna. Yang benar-benar semprna hanya Sang Khaliq.


Mendengar lewat Mata
Dalam sebuah artikel di internet, saya pernah membaca kalimat yang cukup unik. Kalau tidak salah bunyinya adalah;
“Mata memiliki peran yang lebih besar daripada telinga dalam proses menyerap informasi”
Jujur, saya secara pribadi sependapat dengan pernyataan di atas. Apalagi jika dikorelasikan dengan kehidupan saya sebagai seorang yang tak sanggup mendengar.

Pengalaman saya yang sampai SMA bergaul dengan orang yang semuanya “normal” barangkali dapat menjadi penguat argument saya. Sebagai contoh, saya sejak SD sampai SMA di sekolah umum, bergaul dengan yang normal semua. Dalam menyerap informasi saya mengandalkan sepasang mata saya.

Dalam menyerap materi pelajaran saya menatap tajam apa yang ditulis guru saya di papan tulis. Kadang-kadang dengan melihat gerak bibir guru saya. Namun harus saya akui, bahwa hasil dari memperhatikan gerak bibir saya tidak maksimal. Pun, sampai kini saya belum maksimal dalam membaca gerak bibir lawan bicara. Alhasil, saya lebih banyak mengandalkan media tulis untuk memahami apa yang mereka katakan. Maka tak heran, jika alat tulis senantiasa tak jauh dari sisi saya. Namun biar lebih praktis, seringkali menggunakan Hp.

Saat SMA saya hanya tersenyum saja ketika teman-teman meledek saya dengan sebutan kutu buku. Hal ini tidaklah salah, bahkan sebuah keharusan bagi orang-orang seperti saya untuk membaca apa saja yang dapat dikategorikan sebagai sumber informasi sebagai pembuka cakrawala, pembangkit kehidupan, dan semacamnya. sebab dengan membaca, yang tentu saja mengandalkan mata, saya dapat “mendengarkan” apa yang dunia katakan, apa yang sedang terjadi dalam kehidupan saya, apa yang sedang terjadi di sekitar saya.

Saya dapat berasumsi bahwa sekitar 85% materi pelajaran saya serapdari membaca, hal ini tidak lain karena saya sejak SD-sekarang mengenyam di lembaga pendidikan formal umum, berbaur dengan yangnormal.

Begitu juga dengan hobi menulis yang sampai sekarang saya jalani. Bahkan saya bisa melangkah hingga ke kampus ini berkat membaca. Ya, saya belajar menulis secara otodidak lewat membaca. Semua ketramplian saya dapat dari membaca.Dan tentu saja, semua aktifitas membaca itu tidak lain dan tidak bukan karena saya mengandalkan sepasang penglihatan saya; mata saya yang mendengarkan.


Mendengar Lewat Hati
Sebenarnya ini adalah pengembangan –katakanlah sebuah proses akhir- dari bagaimana kita mendengar lewat mata. Akan tetapi dalam posisi tertentu, hal ini dapat berdiri sendiri.

Umumnya hal yang tidak dipisahkan dengan mata sebagai indera pendengaran adalah hal-hal yang dapat kita tangkap dalam dunia (nyata). Contohnya, bagaimana saya melihat ekspresi seseorang, maka hati saya yang sanggup menerjemahkan. Kadang-kadang proses penerjemahan dalam hati saya keliru. Persaan (hati) saya menangkap bahwa si obyek sedang menghina saya, padahal sejatinya tidak. Begitu juga dengan sebaliknya. Pada saat seperti inilah, saya seringkali bergulat dalam emosi yang kadang-kadang tak terkendali. Bahkan, jika semakin tak terkendali saya pernah menggugat Tuhan, meski gugatan saya hanyalah berujung pada kesia-siaan.

Mendengar lewat hati pada tipe kedua lebih mengarah bagaimana kita memahami hakikat hidup kita secara lebih mendalam. Sebagai pengejawantahan posisi kita sebagai mahluk Tuhan. Sebab, Tuhan tidak dapat kita lihat dengan mata kepala sendiri. akan tetapi dengan kekuatan, dengan perenungan bathin kita; hati kita yang paling dalam.

Dengan mengandalkan hati kita saat berkomunikasi dengan Tuhan, setidaknya dapat mengasah kepekaan, penghayatan dan pehaman kita akan apa yang terjadi dalam kehidupan kita. Kombinasi antara mata dan hati itulah, kekuatan utama saya dalam memahami dunia saya. Dunia yang sebagian besar orang menganggap dunia yang hening dan sunyi. Dunia yang hanya sanggup terdiam, serupa air dalam baskom; tenang dan stagnan. Akan tetapi, bagi saya dunia saya sama dengan apa yang sedang Anda jalani, yang membedakan hanyalah satu, yakni kita menuju ke arah sana dengan jalan yang berbeda.
Mukhanif Yain Yusuf, Penyandang Tuna Rungu, Mahasiswa Semester kedua Sastra Indonesia UGM
*artikel ini adalah pengantar saat menjadi dosen tamu mata kuliah Biopsikologi di Fakultas Psikologi UGM, Jum’at 25 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar