Ketik di sini

Sabtu, 25 Februari 2012


jika aku tetap berlari karena hujan, tersebab dialah yang memberi sebijih benih yang terus tumbuh dalam metamorfosa kehidupan..
mungkin, senja yang tak lagi kemuning ini, akan tetap setia duduk di samping secangkir kopi hitam tanpa pemanis, di atas tumpukan buku-buku usang, atau mengendap di bawah Hape butut yang tetap hidup dalam usianya yang menginjak tahun ketujuh..
dan, seperti hujan yang membuat jemuranku basah, ketika aku pulang dalam gerimis resah. barangkali preludeprelude sunyi masih mengambang, terus mengambang. hujan tak pernah reda, memang.
bukankah janji senja hanya sebatas ikrar terpatahpatah, memahat gelisah?

sebagai pejalan kaki yang menyusuri trotoar kegaduhan ini, bagiku bukanlah panorama asing. sebab bangkai-bangkai rutin bersemayam dalam sebentuk parfum bikinan impor di dalam lubang hidungku. atau tangis lirih manusiamanusia tanpa nama. dan. dosa. semua bukan lagi sandiwara. atau mengada-ada. tapi senja tetap berlagak surga tanpa pesona.

tepat jam lima sore aku terduduk di kamar kesendirian. 2X3 meter. tak lebih. tapi aku selaksa berada di dalam Starbucks, Atlantis, Avenida Palace, bahkan Withe House. jadi, engkau tak perlu iri, kawan.
esok, akan aku ajak ke Patayya, Dubai, atau sekadar refreshing ke Sanur. tapi, aku lebih suka engkau aku ajak berwisata ke Afghanistan, Irak, atau Palestina. sebab, masih ingatkah engkau tentang Bosnia-Herzegovina? juga tentang Latko Mladic? tapi, tak mengapalah jika engkau masih betah di negeri sendiri. sebab di sini tangis dan darah tak jauh berbeda dengan gedung-gedung pencakar langit. atau jika kita bandingkan dengan ruangan wakil rakyat yang serba impor dan kesohor.

kemarin, baru saja aku ketawa tentang afika. seorang presiden, barangkali sedang tertidur di atas abalabal yang memualkan itu. jika aku masih sempat berjalan bersama hujan, jalan raya dan trotoar tak ubahnya sungai buatan, berkelokkelok, mungkinkah atas nama tuhan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar