Ketik di sini

Senin, 14 Januari 2013



Senat KM UGM dalam Wacana Dinamika Sosio-Kultural*

Menurut Raymond William (1979), untuk mengambarkan hegemonitas dalam aktifitas manusia ia mengambil analisis bahwa jika hegemoni sebagai kebudayaan, secara material ia adalah produk dari agen yang sadar dan bisa dilawan oleh alternatif sebuah aksi . Jika hegemoni adalah struktur ideologi, maka ia akan menentukan subjektivitas dari subjek dengan cara-cara yang secara “radikal mengurangi kemungkinan sebuah aksi. Di sisi lain, pada dasarnya hegemoni sebagai struktur adalah masalah penafsiran tekstual. Hal tersebut mengindikasikan bagaimana suatu hegemonitas berkembang dalam suatu ruang yang bersifat relatif-intuitif. Karena bersifat relative-intuitif, suatu hegemonitas tidaklah bernilai sama dalam setiap pandangan manusia, meskipun pada umumnya mengikuti sebuah consensus. Hal ini karena umumnya hegemonitas adalah hasil dari consensus itu sendiri.
Hegemonitas pun melaju dalam  sebuah paradoks yang “dibenarkan”. Kalau tidak, kehadirannya adalah sesuatu yang dipaksakan. Hegemonitas juga berusaha mengembangkan dirinya dengan cara-cara yang telah diakui sebagai “kebenaran”. Meski demikian, hegemonitas tak sepenuhnya absolut, hal ini berdasarkan sifatnya yang relatif-intuitif, serta dari sudut pandang struktur adalah masalah penafsiran tekstual. Hal ini pula yang terjadi pada realitas penyandang difabel (disabilitas) di Indonesia. Mereka adalah sekelompok orang atau individu yang berada dalam hegemoni kenormalitasan. Hal tersebut karena mereka tidak memenuhi syarat sebuah konsensus bahwa individu tersebut tidak memenuhi syarat “sempurna” atau “normal” layaknya manusia kebanyakan. Oleh karena disabilitas berada dalam kungkungan hegemonitas masyarakat yang –katanya- normal, hegemoni membawa mereka tidak hanya sebagai kaum minoritas, tetapi juga sebgai kaum yang terpinggirkan. Lalu bagaimanakah reaksi kita sebagai mahasiswa, sebagai generasi penerus pemimpin bangsa?
Tulisan ini tidak bermaksud “menghukum”, “mengadili”, apalagi “menuntut” pihak-pihak yang merasa menjadi objek dari tulisan yang seharusnya tidak saya tumpahkan dalam coretan ini. Akan tetapi hal ini –dalam pikiran saya- adalah sesuatu yang setidaknya mendapat label “obyektif”. Meski demikian obyektif tidak sepenuhnya absolut, selalu ada celah dimana keabsolutifitasan mencipta lubang dan tak kasat mata.
Bagi civitas akademika UGM sudah pasti sedang berada dalam ”euforia” Pemilihan Raya (Pemira). Meski dalam pandangan saya hanya pada tataran wilayah tertentu saja yang terlihat menyambut hajatan besar setiap setahun sekali ini. Kita dapat belajar berdemokrasi, memilih dan dipilih, atau kalau tidak kita juga dapat belajar tentang bagaimana “bertransaksi” komoditas. Selebihnya, cenderung adem-ayem. Barangkali hal ini memang identik dengan mahasiswa jaman sekarang yang lebih condong ke arah pragmatis semata. Alhasil, tidak sedikit mahasiswa yang lulus dengan  predikat “hero to zero”, dari pahlawan yang dielu-elukan masyarakat sebagai “siswa jenjang pendidikan  tertinggi” namun terjun bebas menjadi seorang pecundang ketika berhubungan dengan masyarakat. Meskipun dalam tataran kajian sosio-humaniora, kita senantiasa dituntut untuk mengejawantahkan nilai-nilai kedirian dalam konteks interaksi sosial, dimana proses interaksi itu tidak senantiasa “putih-putih” saja, selalu ada yang ‘”hitam-hitam”, yang bersanding dalam bahasa bernama “problematika”.
Menjelang Pemira yang tinggal beberapa minggu lagi, justru saya –untuk menghindari kata ‘kita’-  menangkap adanya kekurangmaksimalnya kinerja BEM KM UGM, maupun Senat KM UGM, terutama menyangkut dunia yang saya geluti, yakni dunia difabel. Saya hendak menyoroti UU KM UGM No 3 pasal 16 tentang syarat bagi calon senat mahasiswa jalur independen, posisi di mana saya hendak turut meramaikan persaingan. Dalam poin f, tertulis:
“SEHAT JASMANI DAN ROHANI”
Sejenak, saya merenung, kemudian berpikir. Ada sesuatu yang mengganjal ketika hendak mengeluarkan kata-kata ini. Tapi toh, akhirnya tetap keluar juga. Sebagai satu-satunya mahasiswa penyandang tuna rungu di UGM, saya benar-benar kecewa terhadap pembuat kebijakan, yang –setidaknya- membuat saya tidak memenuhi persyaratan yang diajukan. Sepertinya, pembuat kebijakan (UU KM UGM) yang notabene adalah para pemimpin masa depan bangsa, mahasiswa yang digadang-gadang dapat memberi perubahan ke arah kemajuan bangsa justru tak mampu mengikuti dinamika yang terjadi di luar sana. Baik posisi di BEM maupun Senat, merupakan batu loncatan untuk melangkah ke wilayah “pertarungan” yang sesungguhnya, yakni realitas sosio-curltural masyarakat.
Sebagai sarana “batu loncat” adalah hal yang bijak jika setiap kebijakan yang dibuat senantiasa mencerminkan, atau kalau tidak mampu membaca dan menempatkan sesuatu yang terjadi diluar sana dalam kerangka yang sama namun dalam konsep yang lebih mikro. Ditengah masyarakat yang kurang peka terhadap keberadaan difabel, meskipun pemerintah telah mengesahkan UU No 19 tahun 2011, yang tidak lain merupakan ratifikasi dari The Convention on the Rights of Persons with Disabilites (CRPD) yang dicetuskan PBB, seharusnya mahasiswa menjadi penggerak utama dalam mengarahkan kesadaran (consciousness) masyarakat. Namun apa yang terjadi, justru kita malah meng-copy paste.
Apalagi UGM secara yuridis-Konstitutif berada di wilayah hukum DIY, di mana telah ada Perda No 4 tahun 2012 tentang hak-hak penyandang difabel, termasuk di dalamnya kewajiban-kewajiban bagi siapa saja yang berada di wilayah “kekuasaan” DIY. Tapi, apakah yang terjadi? Sebuah realitas yang tak sepatutnya dipertontonkan BEM dan Senat KM UGM.
Niat untuk mencalonkan diri jadi Senat KM UGM tidak bertendensi pragmatis semata, akan tetapi lebih didasarkan mencoba memberi perubahan bagi bangsa ke arah yang lebih baik. Dan saya hendak memulai perubahan dari lingkungan yang selama ini dekat dan melekat pada diri saya, yakni kehidupan difabel. Lewat Senat KM UGM, saya akan merangkul mahasiswa untuk menciptakan kampus UGM yang inklusif, peka terhadap masyarakat marginal, terutama penyandang disabilitas. Ketika pihak rektorat sudah mendukung perjuangan saya, target berikutnya tentu saja adalah mahasiswa kampus biru ini.
Usai menimbang-nimbang setidaknya saya mengambil beberapa kesimpulan terkait UU KM UGM yang setidaknya kurang menjangkau seluruh elemen civitas akademika UGM.
Pertama, kalangan pembuat kebijakan kurang memahami dan mengikuti dinamika yang berkembang di masyarakat. Kedua, budaya copy-paste yang setidaknya masih terlihat. Boleh jadi kebijakan yang dibuat adalah hasil copy-paste dari aturan lama, kalau tidak, ya dari aturan sejenis yang ada di masyarakat. Namun, ketika masyarakat sudah berada dalam hegemoni kenormalitasan, di mana yang dianggap tidak “normal”( dilabelkan ke kaum difabel) adalah tidak pantas turut berpartisipasi karena tidak memenuhi criteria “SEHAT JASMANI DAN ROHANI”.
Ketiga, budaya hanya sanggup berbicara, namun tidak sanggup memahami secara kontekstual, apalagi mewujudkannya dalam tataran parksis. Saya yakin, seringkali pembuat kebijakan yang notabene adalah para mahasiswa yang selama ini menjadi “mahasiswa teladan” seringkali berkoar-koar, “Jangan memandang sesuatu dari sampulnya saja!!”
Saya sendiri heran, sebab saya yakin para pembuat kebijakan pernah melihat mahasiswa difabel di UGM. namun, kenapa kebijakan yang dibuat justru tidak mengayomi kaum difabel? Bahkan, saya sempat menjadi pemandu PPSMB PALAPA UGM yang mewawancarai saat proses seleksi adalah anak-anak BEM KM sendiri. saya juga mengenal Mas  Zaky, eks Wakil Presma yang mundur sekitar bulan Agustus lalu. Bahkan saya memilih berniat mencalonkan diri di senat lewat jalur independent atas saran Mbak Gresika Bunga Sylviana, yang tidak lain adalah ketua DPF KM UGM. Lalu, apakah ada yang aneh dan tidak masuk akal? Jikapun tetap mendaftar, meskipun "diloloskan" ada kemungkinan muncul gugatan karena legal standing-nya memang demikian adanya.
Saya jadi teringat, ketika sekitar delapan tahun lalu, ada seorang penyandang difabel (tuna daksa) yang juga mahasiswa UGM melakukan demonstrasi menolak diskriminasi terhadap difabel yang hendak masuk ke UGM. Ketika hendak masuk ke rektorat, dia yang berdemo dengan kaum difabel (tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, dll) dan didukung aktifis difabel dihadang puluhan satpam dan polisi, sebagai ekspresi “ketidakberdayaan” sosok lelaki yang saya kagumi itu berinisiatif mengambil mic dan berseru:
“Baiklah, saudara-saudara. karena kita tak diijinkan masuk, marilah kita doakan semoga bapak-bapak ini memiliki anak yang serupa dengan kita (difabel-pen)!”
Ucapan tersebut kurang mendapat respon, saat diulang sampai tiga kali semua peserta demonstrasi menengadahkan tangan ke atas, mengikuti arahan sang orator, yang kini sudah menjadi dosen di Universitas Barawijaya dan alumni University of Hawaii. Ajaib!! Satpam dan polisi langsung menyingkir. Sampai detik ini, kisah demo yang satu ini sudah cukup melegenda dalam dunia difabel/disabilitas, bahkan cukup populer di kalangan pejuang HAM dan masyarakat marginal . Namun, dalam rentang waktu 8 tahun tersebut apakah yang telah dilakukan para mahasiswa “normal” di UGM, khususnya petinggi KM UGM? Justru yang bergerak adalah kalangan difabel itu sendiri. katanya kampus kita ini kampus kerakyatan dan kampus pancasila, bung!! Benar nggak toh?
Meskipun pada akhirnya persyaratan tersebut dihapus setelah tulisan ini menjadi perbincangan lewat dunia maya, perlu adanya kecerdasan bagi petinggi KM UGM, termasuk dari kalangan Senat KM UGM dalam membaca dinamika sosio-kultural yang terjadi di masyarakat, terlebih lagi di lingkungan kampus UGM, salah satunya adalah isu disabilitas. Dinamika adalah sebuah keniscayaan, sebagai esensi dari yang namanya hidup dan kehidupan. Sebab, kita yang percaya akan sentuhan Tuhan, sebagai Yang Maha Kekal dan Berkuasa, takkan mengiyakkan pernyataan Nietzche; “Tuhan telah mati!”.



*Tulisan ini juga terpublish di notes facebook penulis, dengan sedikit perubahan seperlunya

2 komentar:

  1. Mas Hanif, saya Widodo, penyelenggara acara di RSIY PDHI Kalasan kemarin. Mudah2an kita bisa berkolaborasi terus. Saya berusaha terus untuk mewujudkan kemudahan akses diagnosis dan terapi bagi anak tuna rungu. Mudah2an semua jalan yang kita tempuh dimudahkan.

    BalasHapus
  2. aamiin...
    iya, salam kenal, mas..
    kalau ada perlu bisa menghubungi saya di mukhanif.yasin.y@mail.ugm.ac.id.
    saya juga berkeinginana utk membantu sesamanya, semoga ke depan kita bisa terus bersinergi....

    BalasHapus