Ketik di sini

Jumat, 15 Maret 2013

Aku Baik-baik Saja, Ibu.....






Entahlah, kenapa di atas puncak dini hari aku belum sempat memejamkan sepasang kelopak mataku. Dini hari kali ini agak lain dari yang telah lalu, di perantauan ini. Aku senantiasa teringat yang nun jauh di sana, Ibu. Ya, ia yang membuatku ada. Ia yang membuatku tetap menjalani hidup ini, meski dunia telah mengasingkanku dalam sebuah padang labirin. Tempat di mana aku benar-benar terjerembab pada padang gersang dan gelap. Kegersangan dan kegelapan itu hanyalah sebuah oase kerinduan akan kehidupan. Titik jenuh antara bayang-bayang kematian atau remang-remang nur kehidupan.

Sudah sekitar dua hari terakhir aku merasakan ada yang tidak beres dengan perutku. Aku menjadi teringat padamu, Ibu. Sungguh! Bahkan aku tulis kata-kata ini dengan berkaca-kaca. Air mata tak sanggup aku bendung. Tapi, bukan air mata sia-sia, Ibu….

Ini air mata cintaku. Air mata rinduku. Air mata rindu dan cintaku padamu….

Entahlah! Aku tak tahu harus menulis apa di atas puncak dinihari seperti ini. Akan selalu kuingat, bagaiamana dulu engkau mencium kedua pipiku, sebelum aku untuk pertama kalinya merantau seorang diri di Kota Pelajar ini. Air mata itu aku lihat dengan jelas. Tak jauh berbeda saat aku pulang dari Kota S dengan menggenggam sebuah piala, hasil jerih payahku melawan ketidak-mungkinan, absurditas, atau semacamnya. engkau menciumku. Berulang-ulang. Sungguh, aku tak tahu harus berkata apa di puncak dini hari yang kian kalut ini…

Ini air mata cintaku. Air mata rinduku. Air mata yang mengalir kala rindu ini senantiasa datang menyelinap bertubi-tubi…

Tapi, mau bagaimana lagi, Ibu. Kita terpisah jarak, engkau yang nun jauh di sana. Tapi, percayalah, aku baik-baik saja di sini. Aku tak ingin, engkau yang nun jauh di sana mencemaskanku.

“Uangmu masih tidak?”

Itulah sepenggal kalimat yang seringkali nongoll di hp bututku.
Maka, aku senantiasa menjawab, aku baik-baik saja di sini. Meski kadangkala aku hanya menggenggam sepuluh ribu rupiah. Karena aku tak ingin engkau mencemaskanku lagi, Ibu. Aku tak ingin engkau menitikkan air mata kala aku menjawab “aku masih ada delapan puluh lima rupiah, cukup buat seminggu ini”, lalu keesokan harinya engkau menyuruh kakak ipar mentransfer ke rekeningku yang tak lagi bernyawa. Aku tak menginginkan itu,, Ibu…

Kini, ketika engkau bertanya lagi, aku hanya akan menjawab sama seperti yang sudah-sudah. Aku baik-baik saja, tak lebih dari itu. Ya, tak lebih. Sebab, aku tak ingin engkau mencemaskanku..

Aku telah belajar banyak tentang bagaimana rasa sakit itu. Yakinlah, Ibu….. Aku telah belajar banyak tentang arti rasa sakit dan pedih. Maka, cukuplah air mata kerinduan ini menjadi saksi atas dini hari ini. Bahkan rasa sakit yang aku rasa di atas puncak dini hari ini, tak berarti apa-apa jika dibandingkan saat aku tenggelam dalam kematian itu, kematian hidup. Ya, kematian hidup yang begitu menyiksa, hening dan sunyi; seorang diri.

Engkau pasti ingat, Ibu…….. Saat aku masih seorang bocah sebelas tahun. Dan aku kembali terlahir bagai sosok yang baru lahir dari rahimmu. Ah, aku tak ingin mengulang lagi dalam catatan kecil ini. Tapi, aku telah belajar banyak darinya. Belajar bagaimana menyingkap rasa sakit dan pedih. Menjadi pintalan senyum yang menuangkan matahari pagi. Atau guratan senja yang kemuning kala malam hendak bersendawa bersama purnama.

Ingin sekali aku pejamkan kedua bola mata ini. Akan tetapi aku benar-benar tak sanggup. Aku tak berdaya. Entahlah. Padahal di luar sana, gerimis telah usai. Bahkan, gemintang yang remang mulai bermunculan dengan lenggak-lenggok egoisnya. Tapi, kenapa aku tak sanggup memejamkan mata, Ibu…..

Sudah sekitar dua hari aku merasakan keganjilan itu. Tapi jika engkau bertanya, aku senantiasa menjawab; aku baik-baik saja. Kenapa? Aku tak ingin engkau kembali merintikan air mata. Seperti saat aku menginjak usia ketiga belas. Aku akan selalu mengingatnya, bagaimana engkau berkaca-kaca di hadapanku, juga bapak. Hanya karena aku ngambek agar bapak memperbaiki sepeda yang sudah lama rusak. Dan aku melihat dengan jelas air matamu, Ibu….. Hari itu juga, sepeda perak dapat kembali aku pakai. Aku akan selalu ingat itu, Ibu…. Apakah engkau masih mengingatnya?????

Ya, dulu. Itu masa lalu. Akan tetapi –Insya Allah- akan selalu aku kenang dalam bait-bait ingatan yang abadi dalam diary hidupku, Ibu…

Aku telah belajar tentang rasa sakit dan pedih itu. Maka, engkau jangan lagi mencemaskanku di sini. Aku baik-baik saja…..

Aku tulis catatan kecil ini di sini, Ibu. Agar engkau tak membaca kata-kata yang luruh di atas puncak dini hari ini. Sebab, aku tahu. Andai engkau membacanya, barangkali engkau hanya sanggup meluruhkan kristal-kristal mungil, bening nan sejuk. Dan. Aku tak menginginkan itu…

Jujur, Ibu. Aku sejatinya ingin sekali kembali meraskan tiduran di atas pangkuanmu. Juga di atas pangkuan bapak. Lalu, engkau mengelus-elus rambutku. Meski aku bukan lagi kanak-kanak, tak pantas menyandarkan kepala di atas pangkuanmu. Tapi, aku tak peduli akan hal itu, Ibu…

Aku tulis catatan kecil di sini. Agar engkau tak sanggup membaca rinduku. Tapi, aku tahu, aku merasakan rindu itu, rindumu….

Yang aku tahu, air mata Ibu adalah sebentuk do’a. Ya, hanya itu yang aku harapkan. Aku hanya berharap atas do’amu. Tapi aku tak ingin engkau meluruhkan air mata kecemasan. Kecemasan atas diriku. Maka aku hanya menulis catatan kecil ini di sini.

Biarlah mereka, sahabat-sahabat setiaku, yang membaca kata-kata ini. Agar mereka tahu, air mata seorang ibu….

Saat engkau bertanya, aku senantiasa menjawab, aku baik-baik saja, Ibu…. Sebab, aku tak ingin engkau mencemaskanku……

Saat engkau bertanya, aku senantiasa menjawab, aku baik-baik saja, Ibu…. Sebab, aku tak ingin engkau menitikan air mata kecemasan untukku……

Saat engkau bertanya, aku senantiasa menjawab, aku baik-baik saja, Ibu….. Sebab, aku tak ingin engkau merasakan sakit karenaku……


Yogyakarta, 26/2/12, 04:03

Tidak ada komentar:

Posting Komentar