Ketik di sini

Rabu, 20 Maret 2013

Ambiguitas Pancasila; Sekadar Legalitas atau Dasar Pemikiran?




Berbicara tentang Pancasila, barangkali kita sedang mencumbu  kembali pemikiran-pemikirin Karl Marx yang disandingkan dengan pemikiran-pemikiran Agustinus. Barangkali, juga membicarakan kembali sosok sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Dan tentunya masih banyak lagi, mulai dari Plato, Aristoteles, Descrates, Aguste Comte, hingga Foucault. Bahkan seorang Nietzsche sekalipun. Sebab, Pancasila adalah hasil dari rekontruksi dari ideologi-ideologi yang ada, yang mewarnai pemikiran-pemikiran mereka. Yang selanjutnya, menawarkan bentuk baru yang merupakan akulturasi kondisi sosio-cultural masyarakat Indonesia.
Pancasila bukanlah sebuah teks, kehadirannya bukan untuk diakui dan dihafalkan saja. Akan tetapi ia adalah sebuah “pemikiran” yang harus dihayati, untuk selanjutnya diwujudkan dalam tataran praksis. Ideologi yang tercantum dalam pancasila dalam tataran praksis setidaknya dapat melahirkan dua kemungkinan berdasarkan penafsiran yang dilihat dari dua sudut pandang pula.

Legalitas
Pertama, Pancasila hanya sebuah legalitas formal sebuah negara. Dalam hal ini demi tegaknya kedaulatan dan posisi yang sejajar dengan negara lain. Atau dalam tataran lebih mikro, ia digunakan sebagai “stempel” legalitas sebuah institusi, atau  sesuatu yang “dijiwakan” pada diri personal. Karena hanya sebatas legalitas, maka nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila menjadi kabur.
Kecenderungan pancasila hanya sekadar legalitas formal atau “sesuatu yang dijiwakan” melahirkan sederet fenomena-fenomena yang kontradiktif dengan spirit ke-Pancasila-an. Dapat kita lihat dalam pemerintahan kita akhir-akhir ini, seringkali kebijakan yang dibuat tidak pro-rakyat, bahkan lebih bertendensi ke arah kepentingan golongan. Di lembaga legislatif malah lebih parah lagi, korupsi bukan lagi sebagai hal yang tabu. Atau dapat kita lihat secara gamblang di banyak partai politik yang mentasbihkan diri berasas Pancasila. Namun, apalah daya, pancasila hanya sebatas simbol. Sebatas legalitas formal .
Kedua, pancasila tidak sekadar simbol dan legalitas. Akan tetapi ia telah menjadi “sesuatu yang menjiwai” pada diri personal maupun institiusi (negara). Apabila Pancasila telah “menjiwai” maka nilai-nilai yang terkadung di dalamnya benar-benar lahir sebagai output yang real. Mengingat Pancasila merupakan rekiontruksi dan kombinasi dari sistem –sistem ideologi yang ada, di mana secara gamblang telah menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan kondisi bangsa kita, seharusnya tak perlu ada lagi ketimpangan-ketimpangan yang menyertai negeri ini.
Tersemat ideologi sosialisme Karl Max dalam sila kedua sampai keempat. Begitu pula konsep “negara Tuhan: Agustinus yang “dimodifikasi” dalam sila pertama. Konsep JJ Rosseau secara umum juga disebutkan dalam Pancasila, bahkan lebih jelas lagi dalam UUD 1945. Lalu, apa yang kurang?
Ternyata diri ini cukup egois mengatasnamakan Pancasila. Apalagi di kalangan mahasiswa yang selama ini lebih mengarah pada corak berpikir pragmatis, baik yang mendapat predikat mahasiswa kupu-kupu maupun yang berlabel aktivis. Jikapun ada, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Tidak sedikit antar aktivis kampus justru terlibat friksi, bahkan mengarah pada distorsi. Hal ini dibuktikan dengan adanya sentimen di antara aktivis kampus. Bahkan, upaya jegal-jegalan antar satu aktvis dengan aktivis lain yang berbeda paham semakin tampak nyata. Salah satunya dapat dilihat bagaimana hegemoni kelompok yang selama ini menegdepankan label “Agama” terhadap aktivis “Nasionalis”, begitu juga sebaliknya.

Landasan Berpikir?
Maka, muncul pertanyaan, apakah Pancasila benar-benar menjadi landasan berpikir para mahasiswa? Apakah sudah menjiwai diri aktivis itu sendiri?
Pertanyaan yang sejatinya sederhana, namun memunculkan jawaban yang bertendensi kompleks jika melihat latar belakang mereka. Jika mengacu pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sejatinya kita dapat menentukan ke arah mana tataran praksis itu bermuara. Namun, ketika nilai-nilai pancasila dikaburkan, yang ada hanyalah label pancasila sebagai simbol. Hal yang demikian menjadikan pemikiran-pemikiran kita kembali pada ideologi-ideologi yang terpecah belah, kongsi dari ideologi Pancasila.
Boleh jadi, mereka yang mengatasnakan agama sedang menghidupkan lagi konsep “negara Tuhan” yang terbukti gagal menjalankan amanat rakyat di masyarakat yang multikultur. Bisa juga mereka yang selama ini memperjuangkan hak-hak rakyat kecil secara sporadis, bahkan represif sedang memperjuangkan sosialisme yang lebih banyak gagal mewujudkan masyarakat yang ideal.
Yang terakhir, jika Pancasila yang merupakan rekonstruksi dan akulturasi dari ideologi-idelogi yang ada menjadi dasar pemikiran, sekaligus menjadi “sesuatu yang menjiwai” -terutama bagi aktivis-aktivis kampus- akankah masyarakat kita akan berkembang menjadi masyarakat ideal? Atau ke arah kemunduran? Saya kira, kita telah melihat dengan mata kepala sendiri ke mana tendensi jawaban itu. Jika tidak percaya, silahkan buka kembali teks-teks sejarah, membaca berita-berita di media massa, atau langsung turun menghadapi masyarakat. How?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar