Berbicara tentang Pancasila, barangkali
kita sedang mencumbu kembali
pemikiran-pemikirin Karl Marx yang disandingkan dengan pemikiran-pemikiran
Agustinus. Barangkali, juga membicarakan kembali sosok sastrawan Pramoedya
Ananta Toer. Dan tentunya masih banyak lagi, mulai dari Plato, Aristoteles, Descrates,
Aguste Comte, hingga Foucault. Bahkan seorang Nietzsche sekalipun. Sebab,
Pancasila adalah hasil dari rekontruksi dari ideologi-ideologi yang ada, yang
mewarnai pemikiran-pemikiran mereka. Yang selanjutnya, menawarkan bentuk baru
yang merupakan akulturasi kondisi sosio-cultural masyarakat Indonesia.
Pancasila bukanlah sebuah teks, kehadirannya
bukan untuk diakui dan dihafalkan saja. Akan tetapi ia adalah sebuah
“pemikiran” yang harus dihayati, untuk selanjutnya diwujudkan dalam tataran
praksis. Ideologi yang tercantum dalam pancasila dalam tataran praksis
setidaknya dapat melahirkan dua kemungkinan berdasarkan penafsiran yang dilihat
dari dua sudut pandang pula.
Legalitas
Pertama, Pancasila hanya sebuah legalitas formal
sebuah negara. Dalam hal ini demi tegaknya kedaulatan dan posisi yang sejajar
dengan negara lain. Atau dalam tataran lebih mikro, ia digunakan sebagai
“stempel” legalitas sebuah institusi, atau
sesuatu yang “dijiwakan” pada diri personal. Karena hanya sebatas
legalitas, maka nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila menjadi kabur.
Kecenderungan pancasila hanya sekadar
legalitas formal atau “sesuatu yang dijiwakan” melahirkan sederet
fenomena-fenomena yang kontradiktif dengan spirit ke-Pancasila-an. Dapat kita
lihat dalam pemerintahan kita akhir-akhir ini, seringkali kebijakan yang dibuat
tidak pro-rakyat, bahkan lebih bertendensi ke arah kepentingan golongan. Di
lembaga legislatif malah lebih parah lagi, korupsi bukan lagi sebagai hal yang
tabu. Atau dapat kita lihat secara gamblang di banyak partai politik yang
mentasbihkan diri berasas Pancasila. Namun, apalah daya, pancasila hanya
sebatas simbol. Sebatas legalitas formal .
Kedua, pancasila tidak sekadar simbol dan
legalitas. Akan tetapi ia telah menjadi “sesuatu yang menjiwai” pada diri
personal maupun institiusi (negara). Apabila Pancasila telah “menjiwai” maka
nilai-nilai yang terkadung di dalamnya benar-benar lahir sebagai output yang
real. Mengingat Pancasila merupakan rekiontruksi dan kombinasi dari sistem
–sistem ideologi yang ada, di mana secara gamblang telah menghasilkan sesuatu
yang sesuai dengan kondisi bangsa kita, seharusnya tak perlu ada lagi
ketimpangan-ketimpangan yang menyertai negeri ini.
Tersemat ideologi sosialisme Karl Max dalam
sila kedua sampai keempat. Begitu pula konsep “negara Tuhan: Agustinus yang
“dimodifikasi” dalam sila pertama. Konsep JJ Rosseau secara umum juga
disebutkan dalam Pancasila, bahkan lebih jelas lagi dalam UUD 1945. Lalu, apa
yang kurang?
Ternyata diri ini cukup egois
mengatasnamakan Pancasila. Apalagi di kalangan mahasiswa yang selama ini lebih
mengarah pada corak berpikir pragmatis, baik yang mendapat predikat mahasiswa
kupu-kupu maupun yang berlabel aktivis. Jikapun ada, jumlahnya bisa dihitung
dengan jari.
Tidak sedikit antar aktivis kampus justru
terlibat friksi, bahkan mengarah pada distorsi. Hal ini dibuktikan dengan
adanya sentimen di antara aktivis kampus. Bahkan, upaya jegal-jegalan
antar satu aktvis dengan aktivis lain yang berbeda paham semakin tampak nyata.
Salah satunya dapat dilihat bagaimana hegemoni kelompok yang selama ini
menegdepankan label “Agama” terhadap aktivis “Nasionalis”, begitu juga
sebaliknya.
Landasan Berpikir?
Maka, muncul pertanyaan, apakah Pancasila
benar-benar menjadi landasan berpikir para mahasiswa? Apakah sudah menjiwai
diri aktivis itu sendiri?
Pertanyaan yang sejatinya sederhana, namun
memunculkan jawaban yang bertendensi kompleks jika melihat latar belakang
mereka. Jika mengacu pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila,
sejatinya kita dapat menentukan ke arah mana tataran praksis itu bermuara.
Namun, ketika nilai-nilai pancasila dikaburkan, yang ada hanyalah label
pancasila sebagai simbol. Hal yang demikian menjadikan pemikiran-pemikiran kita
kembali pada ideologi-ideologi yang terpecah belah, kongsi dari ideologi
Pancasila.
Boleh jadi, mereka yang mengatasnakan agama
sedang menghidupkan lagi konsep “negara Tuhan” yang terbukti gagal menjalankan
amanat rakyat di masyarakat yang multikultur. Bisa juga mereka yang selama ini
memperjuangkan hak-hak rakyat kecil secara sporadis, bahkan represif sedang
memperjuangkan sosialisme yang lebih banyak gagal mewujudkan masyarakat yang
ideal.
Yang terakhir, jika Pancasila yang
merupakan rekonstruksi dan akulturasi dari ideologi-idelogi yang ada menjadi
dasar pemikiran, sekaligus menjadi “sesuatu yang menjiwai” -terutama bagi
aktivis-aktivis kampus- akankah masyarakat kita akan berkembang menjadi masyarakat
ideal? Atau ke arah kemunduran? Saya kira, kita telah melihat dengan mata
kepala sendiri ke mana tendensi jawaban itu. Jika tidak percaya, silahkan buka
kembali teks-teks sejarah, membaca berita-berita di media massa, atau langsung
turun menghadapi masyarakat. How?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar