Ketik di sini

Jumat, 18 Januari 2013

Aku Berbeda, Maka Aku Ada




“Kepemimpinan adalah kemampuan menginspirasi orang lain, tidak sekadar mempengaruhi orang lain”
Kata-kata itulah yang aku dapat pada suatu siang. Saat terik seringkali datang dan pulang tiada kabar. Usai gerimis mengharap iba, semalaman. Dan. Akhirnya pun luruh, meski aku tak tahu berapa riak gerimis yang luruh di atas noktah-noktah kehendak suci-Nya. Ada kalam yang seringkali tak pernah kita sua. Atau kalau tidak, tak pernah kita hirau. Kata-kata itu terangkai dalam rona kebiruan, pada sebuah papan tulis putih. Ada desis yang menyelindap di sekujur ruangan berundak yang sejatinya ingin sekali aku berlari dan rebahkan tubuhku di atas kasur. Namun, kata-kata itu kembali menyeretku pada masa lalu. Pada kenangan yang kadang-kadang ingin sekali aku lenyapkan dalam tiap gundukan-gundukan bersemayamkan nisan yang hampir tiap hari bersahutan. Selayaknya burung Jalak Jawa yang dulu sering aku temui, senantiasa aku dengar kicaunya saat-saat membasahi sekujur tubuhku dengan dinginnya air bercampur embun pagi yang berbaur dalam rona dan warta yang sama, yang nun jauh di sana; kampung halaman di Purbalingga. Namun ialah bernama masa lalu; yang mungkin takkan pernah terulang lagi. Andaikan terulang lagi, ia tidaklah sama persis seperti dulu. Akan tetapi, aku sadar, kenangan adalah sebuah tempat aku bercermin, menatap wajahku, tubuhku, dan segala bayangku; ia yang bernama masa depanku.
Aku kembali bertanya pada diri sendiri, adakah yang salah denganku? Namun kali ini, kata-kata itu yang menjawabnya; “TIDAK”. Sebuah kata yang singkat. Dan. Sederhana. Namun, ia memberiku lanskap yang tidak singkat. Pula, tidak sesederhana menyuapi mulut kita dengan semangkuk indomie di dalam kost, atau burjo. Tidak pula serupa memberi setangkai mawar merah pada sang kekasih di sepanjang Jalan Ahmad Jazuli, yang semerbak meranum itu.
Aku memang berbeda dengan kamu, dia, dan tentu saja adalah  kalian. Meski demikian, bukankah tidak ada manusia yang tercipta dalam kondisi sama? Dalam warta yang sama? Bukankah hari senin ini tidaklah sama dengan senin lalu, meski namanya tetaplah sama? Atau berbicara tentang Obama, Palestina, Israel, bahkan seorang Ruhut Sitompul sekalipun, tidak ada yang sama dan serupa dengan mereka.
Barangkali yang menyamakan Aku, kamu, dia, dan Kalian adalah sama-sama memiliki mimpi. Sama-sama memiliki keinginan. Dan yang terakhir, kita berada dalam dunia yang sama, yang di dalamnya bersemayam sebuah kata bernama “cita-cita”. Namun, sebagai sebuah pengejawantahan hidup, perwujudan dan jalan menuju ke arah sana tidaklah sama. Meski namanya tetaplah sama. Selalu ada dan bersemayam di dalamnya perbedaan dan ketidakterpaduan, meskipun hanya sebuah noktah mungil yang hanya sanggup kita lihat dengan selingkar LUV, atau sebuah mikroskop yang terakhir aku temui di SMA, dua tahun yang lalu.
Cobalah engkau lihat diriku, tentu saja aku sangatlah mencolok –atau mungkin kurang sreg, begitu berbeda. Bahkan, engkau sanggup membandingkanku denganmu seumpama langit dan bumi. Selaksa api dan gerimis. Serupa kontradiksi antara lukisan Hogarzt, Frans Hall, Rembrandt, hingga Affandi yang sangat jauh berbeda dibandingkan lukisan adik mungilku yang baru sanggup mencoret-coret tanpa rupa dan rona. Bukankah begitu berbeda?
Seperti yang tertera pada papan tulis itu, “Kepemimpinan adalah kemampuan menginspirasi orang lain”. Aku mengangguk. Aku paham. Aku mengiyakan. Dan tentunya semakin memupuk cahaya keoptimisan yang sedang aku bangun dengan setumpuk masa lalu, bernama kenangan. Yang dibalut dengan sejumput bayang-bayang, hingga do’a dan air mata orang-orang di sekelilingku, terutama ayah dan ibu. Sebab aku percaya, pada kata-kata yang belum lama ini aku sua dalam sebuah pengembaraanku menapaki musim yang dulu sempat aku tanggalkan. Yang dulu sempat terngiang dari sepasang bibir sang ayah; guru dari segala guruku; man saara ‘ala darbi washala, Barangsiapa yang berjalan pada jalannya, maka ia akan sampai pada tujuannya.

Bukankah telah nampak jelas dan nyata bahwa aku berbeda dengan engkau? Namun, aku tetap memiliki satu keyakinan, yakni senantiasa mencoba untuk tetap berjalan. Membaca dan memaknai hidup. Karena bagiku, hidup dalah kehidupan, bukan kematian. Seperti yang sempat Aku katakan pada engkau, pada kalian, tentang prinsip hidupku. Yang kemudaian aku –tentunya bersama engkau dan kalian- rangkai menjadi sebuah pohon berbahan kertas. Bersimbolkan reranting, dedaunan, akar, hingga ranum bunga dan lebat buah yang entah. Lalu aku tuliskan pada bagian bawah , sebagai prinsip hidup seperti yang telah diwartakan pemandu. Meski sederhana, selengkapnya adalah;
“Hidup adalah sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Dan, jawaban itu hanya bisa kita dapatkan dengan menjalaninya. Maka tak sepantasnya kita berpaling dari hidup”
Atas alasan itulah, aku tegaskan lagi, senantiasa tetap berjalan tegak ke depan. Meski aku satu-satunya yang berbeda di antara kalian, di antara deretan calon-calon pemimpin bangsa yang “normal” dalam kadar konsensus bernama struktur sosial dalam hegemoni kenormalitasan, aku tetap berpegang pada keyakinanku. Untuk menjadi seorang pemimpin, tak harus “normal”, bukankah Gus Dur adalah penyandang disabilitas? Apakah masih diragukan? Ke-“normal”-an yang bagaiamanakah menurut kita?
Aku yakin, di luar sana tidak sedikit orang-orang yang sepertiku. Bedanya, mereka tidak “seberuntung” aku. Meskipun aku sendiri tak pernah merasa “beruntung”. Label “beruntung’ hanyalah “gelar” yang disandangkan orang lain. Apalah artinya kita bahagia jika orang lain menderita? Bukankah itu sama saja kita membuat luka semakin menganga?
Tengoklah sejenak, mereka yang sepertiku, mereka yang tak sanggup melangkah selayaknya sepoi yang berhembus dari tenggara. Menghantarkan kedamaian dan kesejukan ditengah hawa terik yang mencabik, dan mencekik. Maka, ingin sekali aku ulangi perkataanku yang sempat terucap saat kita-kita masih bersama –dalam kebersamaan pula- di sebuah ruangan di kampus biru; Sekolah Vokasi UGM:
“Janganlah memandangku untuk menilai mereka; tetapi pandanglah mereka untuk menilai diriku!”
Ya, tidaklah pantas memandangku saat engkau hendak membaca, menganalisis, untuk selanjutnya mengambil kesimpulan atas mereka. Mereka yang selama ini terpinggirkan. Mereka yang selama ini bersemayam dalam dunianya sendiri, yang hening dan sunyi, dan kadangkala hanya berteman dengan sepi dan impian-impian semu yang senantiasa kita gembar-gemborkan. Atau, kita dapat menyaksikan mereka yang sengaja dijauhkan dari masyarakat karena satu hal saja: perbedaan. Meski sejatinya orang-orang di luar mengatakannya dengan satu kata yang membuatku miris; CACAT. Ingin sekali aku katakan, bahkan ingin sekali aku teriakkan dengan lantang: TIDAK ADA MAHLUK CIPTAAN-NYA YANG TERCIPTA CACAT.
Sebab, aku yakin Tuhan tak pernah menciptakan manusia dalam keadaan yang sia-sia, yang cacat. Sebab Dia-lah Yang Maha Sempurna dalam segala sifat-sifatnya, baik yang Wajib, Mustahill, maupun yang Jaiz, termasuk di dalamnya bagaimana Sang Khaliq mencipta sang mukhaliq. Yang menciptakan mahluknya dalam keadaan yang sama, yang membedakan adalah tingkat ketakwaannya. Cobalah kita tengok Al Hujarat ayat 13, An-Nisa ayat 49 dan 58, dan masih banyak lagi yang tidak dapat aku sebut satu per satu.
Semakin sadar, dan dalam kesadaranku. Bahwa tak perlu banyak kata, atau aksi yang menggebu-gebu. Yang hendak aku lakukan kini adalah bagaimana aku dapat menginspirasi orang yang ada di sekitarku. Dan tentu saja, ingin sekali orang-orang yang sepertiku sanggup mengikuti jejakku. Yakni, jejak-jejak yang sennatiasa meninggalkan tanda-tanda yang ranum, yang mananggalkan simbol-simbol cerah dan bercahaya bagi saudara-saudaranya. Tentu saja, dengan mengabaikan jejak-jejakku yang merona hitam. Sebab, tiadalah manusia yang benar-benar sempurna. Selalu ada salah dan khilaf yang senantiasa bersemayam pada diri manusia, termasuk diriku. Tugasmu, tugas kita, adalah melakukan filterisasi atas setiap rangkaian cerita yang ada.
Aku memang tak pernah berpikir, apa lagi menawarkan diri untuk menjadi seorang pemimpin. Sebab kehadirannya bukanlah sebuah ambisi, sebuah perburuan, apalagi perjudian. Ia hadir dan melekat bagi siapa saja yang sanggup menginspirasi orang lain. Dan itulah yang aku dapatkan pertama kali di sepanjang perjalananku yang tiada pernah aku duga ini; “Kepemimpinan adalah kemampuan menginspirasi orang lain”.
Sebelumnya, tak pernah bersemayam dalam laci pikiranku, tak pernah mengendap dalam sekujur rumah sunyi dan kerahasiaanku tentang ini; kepemimpinan adalah menginspirasi orang lain. Sekarang, aku semakin mempertebal keyakinanku akan sebuah gerimis yang selalu kucoba hadirkan pada padang pasir orang-orang yang singgah di sekelilingku, terutama mereka yang selama ini dianggap sama sepertiku: DIFABEL.
Kini, engkau semakin jelas mengenal siapa diriku. Lewat kisah dan cerita yang kita rangkai bersama engkau tahu bahwa aku ini berrbeda. Namun aku perlu mengatakan, “Aku memang berbeda, namun atas alasan itulah Aku tetap ada”………..

Yogyakarta, 18/12/12   00:17 WIB



[*] Tulisan ini saya persembahkan sebagai ucapan terima kasih tak terhingga kepada Panitia dan teman-teman training “MAKSIMAL” (Mahasiswa AKtif, Pretasi Optimal) yang diselenggarakan SUBDIREKTORAT  PENINGKATAN PERTUMBUHAN KEPEMIMPINAN BERKUALITAS (PPKB) UGM.


2 komentar:

  1. Khaniiiiiiifff!
    Ayo follow blog gue! :D :D :D
    *komen ra nyambung*

    BalasHapus
  2. baru tau kalau ada komentarmu, Indi...
    hahaha...

    ok, blogmu opo kui????

    BalasHapus