Ketik di sini

Jumat, 10 Februari 2012


Sarung dan Muda-Mudi; sebuah Refleksi

Usai sholat Isya, dengan mengenakan sarung dan kaos oblong saya melangkahkan kaki pelan-pelan, keluar dari kamar kost yang hanya berukuran sekitar 2X3 meter. Tujuanku mala mini adalah bertemu dengan kawan sekampung, Purbalingga, yang sama-sama merantau di kota gudeg untuk mengais ilmu di UGM, universitas tertua di negeri ini.
Sesuai dengan kesepakatan, kami bertemu di Bunderan UGM. Tak membutuhkan waktu lama untuk mencapai tempat yang dituju, hanya sekitar 5 menit. Di tempat yang biasa buat nongkrong muda-mudi ini bias dibilang saya adalah kaum “minoritas”. Bukan karena kebetulan saya penyandang difabel (tuna rungu), tapi ada hal lain yang member label ke-“minoritas”-an. Yakni, sarung. Wah, kenapa harus sarung, ya?
Bukan sekadar lelucon atau membuatnya menjadi tampak sebagai sebuah “lelucon”. Jika Anda menyaksikan sendiri, dan Anda menemukan saya mengenakan sarung di Bunderan UGM malam-malam seperti ini -bahkan bias juga saat siang hari, barangkali kalian akan menganggap ini pemandangan yang agak janggal. Ya, saya satu-satunya yang mengenakan sarung di antara sekian muda-mudi yang nongkrong di Bunderan UGM. Tentu saja sangat kontras dengan pemandangan sekelilingnya. Ketika yang lain tampil modis, dandanan yang cukup menor, bahkan ada puluhan pasang muda-mudi yang sedang melakukan aktifitas “rutin”, laiknya aktifitas muda-mudi masa kini –pasti Anda mampu menebak apa yang saya maksud, meski saya hanya menghadirkan sebuah simbolisasi. Barangkali mereka –juga Anda- jika menyaksikan saya mengenakan sarung akan bertanya, entah itu dalam hati ataupun secara terbuka, Wah ini anak nggak gaul banget ya?? ^_^
Ya, hanya sekadar sarung yang menjadi pembanding. Namun lebih jauh lagi, makna yang hendak disampaikan tidak sekadar tentang nilai –kualiitas maupun kuantitas- yang melekat pada sarung yang saya kenakan. Ketika globalisasi yang menuntut modernitas di sana-sini, rambu-rambu nilai dan moral banyak dibobol, ditelanjangi bahkan dimutilasi oleh generasi muda hanya demi mengejar trade mark modern. Maka lewat sebuah sarung –dan kaos oblong, bahkan juga sandal jepit yang saya kenakan, hehehe, barangkali dapat di sejajarkan hubungan kontradiktif antara lukisan Monalisa dengan lukisan abstrak karya Mark Rothko, Clyfford Stll, Adolf Got lieb, Piet Mondarian, hingga Vladimir Tatlin. Ya, lukisan monalisa jika dipandang memang cantik, indah, mampu meningkatkan gairah. Sedangkan lukisan abstrak terkesan janggal, buram, tak jelas, bahkan kuno. Akan tetapi abstraktifitas itulah yang memberki nilai plus, multi makna, bahkan menyimpan makna tersembunyi; tak sekadar abstraksi. Mungkin, lukisan abstrak itu adalh simbolisasi sarung yang saya kenakan. Ya, barangkali saja….

Sebuah Harga
Saya tidak bermaksud menjudge, apa lagi menghukum mereka yang di luar saya –memakai sarung. Saya hanya sedang mengajak -bukan menggurui- kita untuk kembali menerawang ke masa lalu, meski hanya sekejap. Di mana sarung menggambarkan sebuah kesan tradisionalis, namun bukan berarti yang tradisionalis itu “kuno” dan tak memiliki “harga”. Bahkan jika dihubungkan dengan sebuah “harga” etika dan moral, nilainya lebih tinggi dibandingkan mereka yang terkesan modis dan gaul ala muda-mudi masa kini; lengkap dengan pernak-pernik aksesorisnya.
Ironis memang, modernitas akhir-akhir ini hanya diidentikkan dengan gaya hidup ala barat –dan kini mulai menjurus ke K-pop-, yang bertentangan dengan budaya kita yang adiluhung, dijunjung dan dihormati bangsa lain. Namun sungguh tragis, generasi muda sekarang menginjak-injak, menelanjangi, bahkan –seperti yang saya sebutkan di atas, memutilasi habis-habisan. Tak heran jika identitas bangsa kita telah mulai menghilang, bahkan kita tak dapat menjamin, apakah dalam duapuluh tahun ke depan kita masih memiliki “nama” yang layak dihargai bangsa lain, atau hanya tinggal sebuah sejarah? Bukankah sekarang ini budaya yang kita terapkan tidak lain merupakan “jiplakan” dari budaya luar; orisinilitas yang terabaikan?
Kita berbicara tentang harga, bukan sebuah sarung, atau pernak-pernik lain. Mungkin Anda tak sependapat dengan saya bahwa sarung tidaklah menggambarkan sebuah harga, tentang nilai dan moral tradisionalis –warisan nenek moyang yang adiluhung. Bahkan, mungkin Anda hanya menganggap hal ini tidak lain karena saya notabene Islam tulen. Atau, asumsi lain, saya anti-modernitas. Bukan! Sekali lagi bukan itu yang saya tekankan!
Saya bukannya anti-modernitas. Justru saya mendukung modernitas dalam segala bidang. Akan tetapi modernitas dalam perspektif saya bukannya seperti yang selama ini melekat pada masyarakat kita; semua berhubungan dengan gaya hidup, serba kebarat-baratan. Justru saya berpikir, modernitas seharusnya mampu menaikkan “harga” bangsa ini di mata dunia. Bukannya membuat bangsa ini terpuruk dalam kemiskinan moral dan kharakter.
Modernitas harus ditafsirkan tidak hanya sebatas gaya hidup yang akhir-akhir ini kita saksikan. Katakanlah, modernitas itu sebagai komplementer jati diri bangsa agar lebih kuat, tahan banting dan menjadikannya lebih arif dan adaptif terhadap perkembangan global. Bukannya mendistorsi, menelanjangi, hingga memutilasi nilai dan moral warisan nenek moyang kita.
Jika ditilik lebih jauh, mereka yang nongkrong di Bunderan UGM tentu saja sebagian besar adalah mahasiswa/i, generasi yang selama ini identik dengan peranannya sebagai agent of change. Lalu, pertanyaannya, dimanakah peran mereka sebagai agent of change? Secara kasat mata memang mereka melakukan perubahan, bahkan bias dibilang sebagai sebuah revolusi. Ya, revolusi modernitas. Namun, sayangnya, modernitas di sini masuk pada ruang indostirsasi; penghancuran kharakter dan jati diri bangsa.
Jika hal ini dibiarkan, bersikap acuh tak acuh. Maka jangan harap, jati diri kita hanya tinggal nama dalam balutan sejarah. Mungkin, nasib kita sama dengan Udin, Munir, Antasari Azhar, yang menjadi korban sebuah konspirasi. Atau seorang Sondang Hutagalung yang gugur sia-sia. Dan semuanya berpangkal dari titik yang sama; modernitas tanpa batas.

Mukhanif  Yasin Yusuf, Penyandang Tuna Rungu, Mahasiswa Semester –memasuki- Kedua Sastra Indonesia UGM. Staff  Dept Media LEM FIB UGM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar