Sarung dan
Muda-Mudi; sebuah Refleksi
Usai sholat Isya, dengan mengenakan
sarung dan kaos oblong saya melangkahkan kaki pelan-pelan, keluar dari kamar
kost yang hanya berukuran sekitar 2X3 meter. Tujuanku mala mini adalah bertemu
dengan kawan sekampung, Purbalingga, yang sama-sama merantau di kota gudeg
untuk mengais ilmu di UGM, universitas tertua di negeri ini.
Sesuai dengan kesepakatan, kami bertemu
di Bunderan UGM. Tak membutuhkan waktu lama untuk mencapai tempat yang dituju,
hanya sekitar 5 menit. Di tempat yang biasa buat nongkrong muda-mudi ini bias
dibilang saya adalah kaum “minoritas”. Bukan karena kebetulan saya penyandang
difabel (tuna rungu), tapi ada hal lain yang member label ke-“minoritas”-an.
Yakni, sarung. Wah, kenapa harus sarung, ya?
Bukan sekadar lelucon atau membuatnya
menjadi tampak sebagai sebuah “lelucon”. Jika Anda menyaksikan sendiri, dan
Anda menemukan saya mengenakan sarung di Bunderan UGM malam-malam seperti ini
-bahkan bias juga saat siang hari, barangkali kalian akan menganggap ini
pemandangan yang agak janggal. Ya, saya satu-satunya yang mengenakan sarung di
antara sekian muda-mudi yang nongkrong di Bunderan UGM. Tentu saja sangat
kontras dengan pemandangan sekelilingnya. Ketika yang lain tampil modis,
dandanan yang cukup menor, bahkan ada puluhan pasang muda-mudi yang sedang
melakukan aktifitas “rutin”, laiknya aktifitas muda-mudi masa kini –pasti Anda
mampu menebak apa yang saya maksud, meski saya hanya menghadirkan sebuah
simbolisasi. Barangkali mereka –juga Anda- jika menyaksikan saya mengenakan
sarung akan bertanya, entah itu dalam hati ataupun secara terbuka, Wah ini anak nggak gaul banget ya?? ^_^
Ya, hanya sekadar sarung yang menjadi
pembanding. Namun lebih jauh lagi, makna yang hendak disampaikan tidak sekadar
tentang nilai –kualiitas maupun kuantitas- yang melekat pada sarung yang saya
kenakan. Ketika globalisasi yang menuntut modernitas di sana-sini, rambu-rambu
nilai dan moral banyak dibobol, ditelanjangi bahkan dimutilasi oleh generasi
muda hanya demi mengejar trade mark
modern. Maka lewat sebuah sarung –dan kaos oblong, bahkan juga sandal jepit
yang saya kenakan, hehehe, barangkali
dapat di sejajarkan hubungan kontradiktif antara lukisan Monalisa dengan lukisan
abstrak karya Mark Rothko, Clyfford Stll, Adolf Got lieb, Piet Mondarian,
hingga Vladimir
Tatlin. Ya, lukisan monalisa jika dipandang memang cantik, indah, mampu
meningkatkan gairah. Sedangkan lukisan abstrak terkesan janggal, buram, tak
jelas, bahkan kuno. Akan tetapi abstraktifitas itulah yang memberki nilai plus,
multi makna, bahkan menyimpan makna tersembunyi; tak sekadar abstraksi.
Mungkin, lukisan abstrak itu adalh simbolisasi sarung yang saya kenakan. Ya,
barangkali saja….
Sebuah Harga
Saya tidak bermaksud menjudge, apa lagi menghukum
mereka yang di luar saya –memakai sarung. Saya hanya sedang mengajak -bukan
menggurui- kita untuk kembali menerawang ke masa lalu, meski hanya sekejap. Di
mana sarung menggambarkan sebuah kesan tradisionalis, namun bukan berarti yang
tradisionalis itu “kuno” dan tak memiliki “harga”. Bahkan jika dihubungkan
dengan sebuah “harga” etika dan moral, nilainya lebih tinggi dibandingkan
mereka yang terkesan modis dan gaul ala muda-mudi masa kini; lengkap dengan
pernak-pernik aksesorisnya.
Ironis memang, modernitas akhir-akhir
ini hanya diidentikkan dengan gaya hidup ala barat –dan kini mulai menjurus ke
K-pop-, yang bertentangan dengan budaya kita yang adiluhung, dijunjung dan dihormati
bangsa lain. Namun sungguh tragis, generasi muda sekarang menginjak-injak,
menelanjangi, bahkan –seperti yang saya sebutkan di atas, memutilasi
habis-habisan. Tak heran jika identitas bangsa kita telah mulai menghilang,
bahkan kita tak dapat menjamin, apakah dalam duapuluh tahun ke depan kita masih
memiliki “nama” yang layak dihargai bangsa lain, atau hanya tinggal sebuah
sejarah? Bukankah sekarang ini budaya yang kita terapkan tidak lain merupakan
“jiplakan” dari budaya luar; orisinilitas yang terabaikan?
Kita berbicara tentang harga, bukan
sebuah sarung, atau pernak-pernik lain. Mungkin Anda tak sependapat dengan saya
bahwa sarung tidaklah menggambarkan sebuah harga, tentang nilai dan moral
tradisionalis –warisan nenek moyang yang adiluhung. Bahkan, mungkin Anda hanya
menganggap hal ini tidak lain karena saya notabene Islam tulen. Atau, asumsi
lain, saya anti-modernitas. Bukan! Sekali lagi bukan itu yang saya tekankan!
Saya bukannya anti-modernitas. Justru
saya mendukung modernitas dalam segala bidang. Akan tetapi modernitas dalam
perspektif saya bukannya seperti yang selama ini melekat pada masyarakat kita;
semua berhubungan dengan gaya hidup, serba kebarat-baratan. Justru saya
berpikir, modernitas seharusnya mampu menaikkan “harga” bangsa ini di mata
dunia. Bukannya membuat bangsa ini terpuruk dalam kemiskinan moral dan
kharakter.
Modernitas harus ditafsirkan tidak hanya
sebatas gaya hidup yang akhir-akhir ini kita saksikan. Katakanlah, modernitas
itu sebagai komplementer jati diri bangsa agar lebih kuat, tahan banting dan
menjadikannya lebih arif dan adaptif terhadap perkembangan global. Bukannya
mendistorsi, menelanjangi, hingga memutilasi nilai dan moral warisan nenek
moyang kita.
Jika ditilik lebih jauh, mereka yang
nongkrong di Bunderan UGM tentu saja sebagian besar adalah mahasiswa/i,
generasi yang selama ini identik dengan peranannya sebagai agent of change. Lalu, pertanyaannya, dimanakah peran mereka
sebagai agent of change? Secara kasat
mata memang mereka melakukan perubahan, bahkan bias dibilang sebagai sebuah
revolusi. Ya, revolusi modernitas. Namun, sayangnya, modernitas di sini masuk
pada ruang indostirsasi; penghancuran kharakter dan jati diri bangsa.
Jika hal ini dibiarkan, bersikap acuh
tak acuh. Maka jangan harap, jati diri kita hanya tinggal nama dalam balutan
sejarah. Mungkin, nasib kita sama dengan Udin, Munir, Antasari Azhar, yang
menjadi korban sebuah konspirasi. Atau seorang Sondang Hutagalung yang gugur
sia-sia. Dan semuanya berpangkal dari titik yang sama; modernitas tanpa batas.
Mukhanif Yasin Yusuf, Penyandang Tuna Rungu,
Mahasiswa Semester –memasuki- Kedua Sastra Indonesia UGM. Staff Dept Media LEM FIB UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar