Ketik di sini

Kamis, 16 Februari 2012


Telaah Mistisisme;
Kontradiksi di Tengah Egoisme

Sebagian besar dari kita berpendapat bahwa pengertian mistis menjurus pada sebuah obyek yang berada di luar nalar atau logika manusia. Menurut  J. Kramers. Jz  definisi mistis adalah kecenderungan hati (neiging) kepada kepercayaan yang menakjubkan (wondergeloof) atau kepada ilmu yang rahasia (geheime wetenschap). Dimana “kerahasiaan” itu adalah sesuatu yang abstrak, tak terlihat, dan ghaib. Namun, di tengah masyarakat yang telah mengalami kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), yang menuntut penalaran dan logika, akankah hal-hal yang bersifat mistis ini masih menunjukan eksistensinya?
Bagi sebagian masyarakat millennium ini, yang mengklaim dirinya sebagai masyarakat peradaban modern, westernis,  bahkan sebagian yang mengesankan perilaku agamis, yakni, hanya bermain-main sebatas pada simbol-simbol agama saja tanpa mengerti hakekatnya, dan kesadarannya masih sangat terkotak-kotak oleh dogma agama/ajaran tertentu. Manakala mendengar istilah mistik, akan timbul konotasi negatif. Tentu saja ini sebuah anggapan yang sempit dan hipokrit. Tak heran jika kata “mistik” mengalami intimidasi dan “penyerbuan” dari kaum modern, westernis dan agamis.

Tak Sekadar Aktifitas Bathin
Sebagian besar mengkonotasikan mistik sebagai sesuatu yang sempit, irasional dan primitive. Tidak hanya berhenti pada tataran itu saja, penganut ajaran mistis selalu mendapat tanggapan negatif dari masyarakat. Saya tidak bermaksud menjudge apakah hal ini masuk pada ruang objektif atau tidak. Namun, setidaknya saya berusaha mengambil beberapa analisis berdasarkan data dan fakta yang ada.
Hal-hal mistik sejatinya tidak hanya berhubungan pada tataran bathin, akan tetapi lebih menjurus pada manifestasi terhadap realitas kehidupan itu sendiri. Pemahaman yang sempit dan terkotak-kotak, tanpa analisis kaidah keilmiahan membuat hal-hal yang mistis dianggap sebagai sesuatu yang mengandung kemusyrikan. Sebab kita sendiri pasti paham bahwa segala “sesuatu” sejatinya memiliki dua sisi yang berbeda. Hitam-putih. Baik-buruk. Kanan-kiri. Atas-bawah. Jadi, semua itu tergantung pada pengaplikasiannya. Bukan merujuk pada esensi obyek yang bernama “sesuatu”.
Sebagaimana di katakan guru besar Filsafat UGM, Prof. Dr. Damarjati Supadjar, bahwa  mistisisme adalah persoalan praktek. Secara keseluruhan, mistisisme adalah aktifitas spiritual. Jalan dan metode mistisisme adalah cinta kasih sayang. Ia menghasilkan pengalaman psikologis yang nyata.  Dan yang terakhir, mistisisme sejati tidak mementingkan diri sendiri.
Dari pengetian di atas sudah tentu bahwa hal mistis tidaklah seperti yang ada dalam pikiran kita. Kita juga dapat berkaca dari novel terlaris JK Rowling, Harry Potter. Kenapa bangsa Amerika –juga Eropa- yang senantiasa mengagungkan rasionalitas tertarik pada hal-hal yang mistis? Tentu saja, hal ini merupakan sebuah kontradiksi atas egoisme masyarakat yang mengaku menjunjung tinggi modernitas -rasionalitas. Setidaknya…

Sufisme
Tak hanya berhenti pada tataran itu saja. Dalam masyarakat Islam dikenal istilah sufisme. Sufisme memang mengajarkan hal-hal mistik seperti karamah , mabuk ke-Tuhan-an (sucker) yang berujung pada wahdatul wujud. Asketisme, sikap menjauhi dunia. Khalawat, tindakan menjauhi keramaian dan orang banyak.
Bagi para rasionalis dan pembaharu (mujadid) ajaran Islam, akan menganggap semua itu adalah penyebab kemunduran peradaban Islam. Hal ini tidak lain karena mereka mengikuti modernitas ala Barat yang mengagungkan rasionalitas. Tentu saja hal ini telah mengabaikan aspek spiritualitas, tingkatan tertinggi dalam hubungannya dengan Tuhan. Kita pun dapat berkaca pada Mustafa Kemal Attaturk, pembaharu Turki yang “berhasil” membangun kejayaan Turki ala Barat. Namun hal itu tidaklah berlangsung lama, hanya beberapa tahun saja.
Dengan demikian jika kita seorang muslim, apakah kita tak sepakat dengan karamah, khalawat, dan sejenisnya? Atau kembali maraknya buku-buku berisi telaah ajaran sufistik dan meningkatnya peminat buku tersebut merupakan gejala munculnya kembali ketertarikan masyarakat terhadap mistik? Besarnya jumlah peminat novel Harry Potter, khususnya di Amerika Serikat merupakan bagian dari fenomena itu? Bukankah ini sebuah kontradiksi di tengah egoisme masyarakat –yang mengaku- modern dan rasionalis?

Yogyakarta, 16 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar