Telaah
Mistisisme;
Kontradiksi
di Tengah Egoisme
Sebagian besar dari kita berpendapat
bahwa pengertian mistis menjurus pada sebuah obyek yang berada di luar nalar
atau logika manusia. Menurut J. Kramers.
Jz definisi mistis adalah kecenderungan
hati (neiging) kepada kepercayaan
yang menakjubkan (wondergeloof) atau kepada ilmu yang rahasia (geheime
wetenschap). Dimana “kerahasiaan” itu adalah sesuatu yang abstrak, tak
terlihat, dan ghaib. Namun, di tengah masyarakat yang telah mengalami kemajuan
dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), yang menuntut penalaran
dan logika, akankah hal-hal yang bersifat mistis ini masih menunjukan
eksistensinya?
Bagi sebagian masyarakat millennium ini,
yang mengklaim dirinya sebagai masyarakat peradaban modern, westernis, bahkan sebagian yang mengesankan perilaku
agamis, yakni, hanya bermain-main sebatas pada simbol-simbol agama saja tanpa
mengerti hakekatnya, dan kesadarannya masih sangat terkotak-kotak oleh dogma
agama/ajaran tertentu. Manakala mendengar istilah mistik, akan timbul konotasi
negatif. Tentu saja ini sebuah anggapan yang sempit dan hipokrit. Tak heran
jika kata “mistik” mengalami intimidasi dan “penyerbuan” dari kaum modern,
westernis dan agamis.
Tak Sekadar
Aktifitas Bathin
Sebagian besar mengkonotasikan mistik
sebagai sesuatu yang sempit, irasional dan primitive. Tidak hanya berhenti pada
tataran itu saja, penganut ajaran mistis selalu mendapat tanggapan negatif dari
masyarakat. Saya tidak bermaksud menjudge apakah hal ini masuk pada ruang
objektif atau tidak. Namun, setidaknya saya berusaha mengambil beberapa
analisis berdasarkan data dan fakta yang ada.
Hal-hal mistik sejatinya tidak hanya berhubungan
pada tataran bathin, akan tetapi lebih menjurus pada manifestasi terhadap
realitas kehidupan itu sendiri. Pemahaman yang sempit dan terkotak-kotak, tanpa
analisis kaidah keilmiahan membuat hal-hal yang mistis dianggap sebagai sesuatu
yang mengandung kemusyrikan. Sebab kita sendiri pasti paham bahwa segala
“sesuatu” sejatinya memiliki dua sisi yang berbeda. Hitam-putih. Baik-buruk.
Kanan-kiri. Atas-bawah. Jadi, semua itu tergantung pada pengaplikasiannya.
Bukan merujuk pada esensi obyek yang bernama “sesuatu”.
Sebagaimana di katakan guru besar Filsafat UGM,
Prof. Dr. Damarjati Supadjar, bahwa mistisisme
adalah persoalan praktek. Secara keseluruhan, mistisisme adalah aktifitas
spiritual. Jalan dan metode mistisisme adalah cinta kasih sayang. Ia
menghasilkan pengalaman psikologis yang nyata.
Dan yang terakhir, mistisisme sejati tidak mementingkan diri sendiri.
Dari pengetian di atas sudah tentu bahwa hal
mistis tidaklah seperti yang ada dalam pikiran kita. Kita juga dapat berkaca
dari novel terlaris JK Rowling, Harry Potter. Kenapa bangsa Amerika –juga
Eropa- yang senantiasa mengagungkan rasionalitas tertarik pada hal-hal yang
mistis? Tentu saja, hal ini merupakan sebuah kontradiksi atas egoisme masyarakat
yang mengaku menjunjung tinggi modernitas -rasionalitas. Setidaknya…
Sufisme
Tak hanya berhenti pada tataran itu saja. Dalam
masyarakat Islam dikenal istilah sufisme. Sufisme memang mengajarkan hal-hal mistik
seperti karamah , mabuk ke-Tuhan-an (sucker) yang berujung pada wahdatul wujud. Asketisme, sikap menjauhi dunia. Khalawat, tindakan menjauhi keramaian dan orang banyak.
Bagi para rasionalis dan pembaharu (mujadid) ajaran Islam, akan menganggap
semua itu adalah penyebab kemunduran peradaban Islam. Hal ini tidak lain karena
mereka mengikuti modernitas ala Barat yang mengagungkan rasionalitas. Tentu
saja hal ini telah mengabaikan aspek spiritualitas, tingkatan tertinggi dalam
hubungannya dengan Tuhan. Kita pun dapat berkaca pada Mustafa Kemal Attaturk,
pembaharu Turki yang “berhasil” membangun kejayaan Turki ala Barat. Namun hal
itu tidaklah berlangsung lama, hanya beberapa tahun saja.
Dengan demikian jika kita seorang muslim, apakah
kita tak sepakat dengan karamah, khalawat, dan sejenisnya? Atau kembali
maraknya buku-buku berisi telaah ajaran sufistik dan meningkatnya peminat buku
tersebut merupakan gejala munculnya kembali ketertarikan masyarakat terhadap mistik?
Besarnya jumlah peminat novel Harry Potter, khususnya di Amerika Serikat
merupakan bagian dari fenomena itu? Bukankah ini sebuah kontradiksi di tengah
egoisme masyarakat –yang mengaku- modern dan rasionalis?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar