Ketik di sini

Senin, 24 September 2012

Belajar tentang Keikhlasan



Pernahkah dalam hidup kita merasa kehilangan? Saya yakin, setiap orang pasti pernah mengalaminya, tanpa kecuali. Entah kehilangan yang bersifat materi maupun non-materi. Hanya saja, reaksi setiap orang sudah pasti berbeda-beda. Sebab, tidak ada satupun mahluk-Nya yang diciptakan dalam skala yang sama, meski dalam ujud atom terkecil.

Dalam satu sisi, seseorang sanggup menerima kehilangan tersebut. Di sisi lain ia tak sanggup menerimanya. Bahkan seringkali atas nama kehilangan kita mengutak-atik eksistensi kuasa-Nya. Karena itulah, pada hakikatnya kehilangan dikorelasikan dengan keikhlasan. Ya, belajar untuk menerima dan berserah diri atas segala kehendak-Nya. Sebab, apa yang terjadi adalah yang terbaik bagi umat-Nya dan Allah tidak menguji kita selain dalam batas keimanan yang kita miliki.

Namun, sebuah ironi ketika hidup dalam kungkungan keduniawiaan segala tolok ukur didasarkan pada materi yang kita miliki. Alhasil, orientasi hidup kita lebih tertuju pada kepuasaan nafsu dibandingkan ketentraman iman dan kedamaian bathin.

Tak sedikit, hanya persoalan sepele kita sudah secara terang-terangan mengutuk dan menggugat keberadaan Tuhan. Kita pernah kehilangan apa yang kita miliki, akan tetapi masih banyak dari kita tak mampu untuk belajar menerimanya, belajar tentang keikhlasan. Entah kehilangan harta-benda, orang-orang yang kita cintai, atau sesuatu yang mendapat predikat ke-Aku-an.

Bagi saya sendiri keikhlasan (beserta kesabaran) adalah kunci utama dalam hidup saya. Sebagai seseorang yang berada dalam keterbatasan ekonomi, bagi sebagian besar orang di era serba pragmatis seperti sekarang ini kunci kebahagiaan lebih dititikberatkan pada segala hal yang berbau materi. Namun, hal itu bukanlah sesuatu yang berlaku bagi kamus hidup saya. Setidaknya, saya mencoba untuk demikian.

Saya pernah kehilangan uang dan beberapa barang berharga yang ditaksir sampai 1,5 juta akibat tingkah laku “teman” yang tak bertanggug jawab saat baru beberapa bulan merantau di Yogyakarta sejak berstatus sebagai mahasiswa. Orang tua dan keluarga pun menyalahkan saya. Kenapa? Uang tersebut niatnya mau dipakai untuk membayar hutang pada kakak ipar saat saya melakukan registrasi sebagai mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi ternama di Kota Pelajar ini.

Bagi kami, jumlah 1,5 juta adalah jumlah yang tidak kecil. Toh, pada akhirnya saya mencoba meyakinkan orang tua, bahwa Allah pasti akan mengganti dengan sesuatu yang lebih dari apa yang telah hilang.

Mungkin, bagi sebagian orang akan menganggap adalah hal yang aneh, tak masuk akal, dan sejenisnya, saat saya bersikap tenang-tenang saja ketika kehilangan uang dalam jumlah “besar. Akan tetapi bagi saya, tolok ukur bukanlah dari sisi materi. Sebab, saya yakin segala sesuatu adalah milik-Nya dan akan kembali jua pada-Nya. Jadi, sang pemilik bukanlah kita, akan tetapi sang Rabb, Tuhan Kita; Allah Azzawajala.

Sebenarnya, apa yang membuat saya bersikap demikian. Baiklah, akan saya ceritkan sedikit tentang ini.

Saya pernah kehilangan sesuatu yang lebih besar, bahkan dapat dikatakan sebagai hal yang sebelumnya saya anggap paling berharga. Siapa yang menginginkan hidup dalam kematian? Tentu saja, tidak ada yang mengingnkan hal itu singgah dan bersemayam dalam kanvas hidupnya.

Namun, ketika Dia telah berbicara dengan sebuah takdir, maka dengan kun fayakun segalanya pun terjadi. Begitu juga saat Allah memberi saya cobaan saat berusia sebelas tahun. Cobaan yang cukup besar bagi bocah seusia saya waktu itu. ya, saya mengalami deaf/tuna rungu saat berusia sebelas tahun.

Dalam masa awal, saya seolah berada dalam kematian hidup, tak ada harapan, juga arah hidup yang akan saya tuju. Yang saya raskan hanyalah sebuah kekosongan, kesunyian, dan semacamnya. Inilah, sebuah kehilangan terbesar bukan hanya bagi saya, tapi juga orang tua. Orang tua mana yang tak merasa tersayat-sayat melihat buah hatinya yang masih kanak-kanak, masih belum mampu mengenali dan menemukan identitasnya? Dan bagaimana jika Anda berada dalam posisi saya?

Imbasnya, saya memutuskan untuk keluar sekolah meski sudah menginjak kelas enam SD. Selama itu pula saya hanya meratapi kehilangan ini. namun, seiring berjalannya waktu saya mulai belajar tentang kehilangan. semua itu berkat didikan agama yang cukup keras dari orang tua. Mungkin jika Anda berada dalam posisi saya, Anda merasa bosan. Bayangkan, sejak berusia lima tahun saya hanya memiliki kesempatan bermain sangat minim, tidak seperti teman-teman yang lain. Pagi duduk di bangku SD, siang sampai sore harus sudah berada di Madrasah Diniyah Taklimiyah Awaliyah untuk memperdalam ilmu Agama. Bahkan, menginjak kelas akhir, saya satu-satunya yang laki-laki dan seingat saya saat menginjak kelas akhir saya hanya absen satu kali.

Namun, sekarang justru saya sangat bersyukur atas semua itu. karena saya dapat belajar atas kehilangan, belajar tentang keihlasan. Kini, saya tak lagi menganggap kehilangan pendengaran saya sebagai sebuah kematian hidup. Akan tetapi adalah ujian bagi keimanan saya.

“Cobaan ini tidak hanya ujian bagimu, tapi juga bagi saya”

Itulah perkataan Ibu beberapa waktu lalu. Saya bersyukur atas segala nikmat-Nya. Seiring berjalannya waktu, dua tahun kemudian saya kembali masuk sekolah dan langsung duduk di kelas enam. Saya menganggap selama dua tahun itu adalah waktu yang saya butuhkan untuk beradaptasi dengan dunia saya yang baru. sebab, kita pasti tahu, semuanya membutuhkan proses, dan proses itu tak ada yang insstan. suka dan suka senantiasa menghampiri. Dulu saya tidak berpikiran untuk menganyam pendidikan sampai sejauh ini. Dulu, kuliah bagi saya tidak ada dalam benak saya, bahkan mengenyam pendidikan sampai Madrasah Tsanawiyah (MTs) pun tak pernah terpikirkan. Bagi saya, cukuplah saya dapat “bertahan” hidup dengan apa yang masih saya miliki.

Memang ,dulu banyak yang meragukan saya, terutama karena kondisi saya. Begitu juga ketika saya memutuskan melanjtkan ke sebuah SMA swasta yang selama ini dianggap masih pinggiran. Banyak yang menganggap tak masuk akal karena saya mengenyam di MTs Negeri, selalu stabil mendapat peringkat satu-dua sejak kelas satu sampai tiga, bahkan masuk lima besar diantara 260-an lulusan yang semuanya adalah siswa normal saat kelulusan UN. Itu semua atas saran bapak, dan saya percaya bahwa ridha Allah terletak pada ridha kedua orangtuanya.

Toh, pada akhirnya saya mencoba membuktikan bahwa semua pada hakikatnya adalah sama, yang membedakan adalah diri kita sendiri. Kini, saya bersyukur atas semua nikmat yang telah diberikan-Nya.

Saya mencoba belajar dari kehilangan “terbesar” dalam hidup saya. Dan bagi saya kehilangan yang bersifat non-materi justru adalah sesuatu yang lebih sulit dibandingkan dengan kehilangan sesuatu yang bersifat materi. Kehilangan 1,5 juta yang saya alami Allah ganti dengan sesuatu yang memiliki nilai lebih. Siapa yang tak pantas bersyukur mendapat beasiswa penuh dan uang saku selama empat tahun di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Siapa yang pantas mengingkari nikmat-Nya ketika mendapat penginapan dan biaya makan gratis selama merantau di Kota Gudeg. Dan satu lagi, apakah saya pantas mengingkari-Nya ketika seseorang yang dengan ikhlas membantu saya untuk memulihkan pendengaran saya yang membutuhkan dana yang saya taksir mencapa 4 juta lebih?

Suatu malam, saat mengayuh sepeda menuju ke kampus, saya berpapasan dengan seorang pemuda. Dengan langkah gontai ia menghampiri saya. Karena kondisi gelap, saya tidak mampu membaca gerak bibir si pemuda tadi. Karena sejak kehilangan pendengaran mengandalkan gerak bibir dan sebuah tulisan untuk memahami lawan bicara. Akhirnya,saya meminta dia menuliskan sesuatu di secarik kertas.

“Mas, Saya butuh uang buat makan dan beli obat buat nenek saya. Kami sudah dua hari nggak makan karena buat beli obat. Sejak siang saya meminta ke orang-orang di sekitar sini, tapi belum dapat. Kalau ada pekerjaan dan Bapak-Ibu saya masih hidup, saya tidak akan meminta-minta seperti ini”

Mengingat kondisi gelap, dengan penerangan Hp butut warisan kakak, saya membaca rangkaian kata yang ada di secarik kertas tersebut. Saya mencoba mengetes kebenaran realitas yang dialami pemuda tadi. Pemuda itu mengaku putus SMP, hidup berdua dengan nenek yang sakit-sakitan, pekerjaannya adalah sebagai pemulung. Saya meminta alamatnya secara detail untuk mengukur seberapa seriusnya pemuda tadi, mengingat saya pernah “mendengar” jutawan yang lahir dari meminta-minta. Pada, akhirnya saya pun mulai percaya usai pemuda itu bercerita panjang lebar.

Entahlah, saya mencoba belajar dari kehilangan “terbesar” bagi hidup saya. Saya mencoba belajar pada apa yang saya sebut sebagai luka dan air mata. Toh, luka dan air mata adalah aksesoris utama saya saat pertama kali kehilangan pendengaran saya. Meski pada akhirnya, saya mencoba untuk tidak meratapinya, akan tetapi menyikapinya dengan hal-hal yang bersifat positif. Dan perasaan saya tidak tega melihat luka yang dialami sesama.

Namun, yang menjadi masalah, ia membutuhkan limapuluh ribu, sedangkan saya hanya mempunyai tujuhpuluh ribu. Sedemikian lama saya terdiam sejenak, mengingat saya sangat membutuhkan uang tersebut. Bahkan saya masih membutuhkan uang tambahan untuk mencari kost baru karena kontrak kost sudah habis dan hendak pindah kost. Dan saya juga sudah tidak lagi mengandalkan orang tua sejak menginjak bulan kedua kuliah di Yogyakarta. Namun, dengan bismillah dan kemantapan hati saya mengikhlaskan uang limapuluh ribu ketangannya. Praktis, uang di dompet saya hanya tinggal duapuluhribu.

“terima kasih, mas. Semoga Mas mendapat balasan dari Allah”

Saya hanya mengangguk dan mengamini dalam hati. Dan. Subhanallah wal hamdulillah, seminggu kemudian saat saya mendapat kesempatan jadi pembicara di sebuah acara talkshow Allah menggantinya dengan jumlah yang lebih besar, mencapai lebih dari delapan kali lipat dibandingkan yang saya berikan kepada pemuda tadi. Ditambah lagi, tidak hanya balasan materi yang saya dapat, tapi nikmat non-materi yang saya dapatkan ketika berada diacara talkshow tersebut.

Kini, saya semakin yakin, kehilangan bukanlah sebuah akhir dari segalanya. Karena dunia ini beserta alam seisinya adalah milik-Nya. Begitu juga ketika saya kehilangan pendengaran saya, yang bagi Anda mungkin adalah sesuatu yang sangat berarti bagi hidup Anda. Justru saya merasa Allah telah memberikan semua yang jauh dari yang saya bayangkan. Bagi saya, kehilangan materi tidaklah seberapa jika dibandingkan kita kehilangan iman dan keyakinan kita. Kuncinya bagaimana kita belajar untuk ikhlas menerima apa yang Allah takdirkan pada kita. Saya tak merasa berbeda dari Anda hanya karena saya telah kehilangan pendangaran saya, karena semua manusia di mata-Nya adalah sama, yang membedakan adalah tingkat ketakwaannya.

Namun apakah realitas yang terjadi di sekeliling kita? Berapa banyak dari kita yang menggadaikan dan mengabaikan iman dan keyakinan hanya demi memburu kepuasaan materi (duniawi) semata? Dan apakah kita takut kehilangan sesuatu yang berwujud materi , apalagi saat-saat sedang mengalami kesulitan hingga menguras kesabaran? Bukankah rahmat Allah senantiasa sangat dekat dengan orang-orang yang sabar dan teraniaya? Dan saya mencoba memaknai bahwa “teraniaya” di sini adalah dalam konteks kekinian, yakni ketika kita dihadapkan pada cobaan, entah itu dalam kaitannya dengan hablum-minallah, maupn hablum-minannas. Tak semuanya dalam wujud “teraniaya” secara fisik, tetapi juga bathin, termasuk di dalamnya sebuah kehilangan …
Wallahu a’lam…

1 komentar: