Ketik di sini

Senin, 24 September 2012

BINGKISAN PERTAMA DAN -semoga bukan- TERAKHIR



“Mukhanif Yasin Yusup!”

Sontak. Aku terkejut ketika namaku dipanggil pada sesi akhir upacara bendera hari senin. Seketika juga, tepuk tangan bergemuruh. Membelah pagi yang masih dingin berselimut embun, khas pedesaan yang tak terlalu jauh dari pegunungan. Sedangkan di sisih barat, Gunung Slamet, gunung tertinggi di Pulau Jawa, dengan angkuh menunjukan kemolekannya. Barangkali ada sedikit perbedaan mengenai nama yang tertulis. Entah karena kesalahan, atau memang sebuah kebiasaan. Nama akhirku sebenarnya “Yusuf”,bukan seperti yang diutarakan bapak kepala sekolah;Yusup. Pun, teman-teman dan orang sekitarku telah terkonstruksi memangil “Hanip” daripada “Hanif”. Begitu juga nama bapak, yang seharusnya “Yusuf” akan tetapi lebih sering orang-orang memanggilnya “Yusup”. Dan yang lebih menggelikan, di raporku nama bapak tertulis “Yasin Yusuf”, barangkali pihak sekolah mengira nama akhirku adalah “warisan” bapak. Meski akhirnya bapak mencoret kata “Yasin” dan menggantinya dengan “Luqman”. Jadilah, yang tertulis adalah “Luqman Yusuf”. Dialah bapakku, sosok yang kelak memberiku warna tentang kehidupan, sekaligus juga membimbing dan menuntunku mempelajari kematian demi kematian.

Seketika juga, aku maju ke depan. Berbarengan dengan adik kelasku yang masih kelas empat yakni, Khaezatun Ni’mah, atau yang biasa dipanggil Nunik yang masih saudara sepupuku. Kami mendapat bingkisan yang berisi dua buah buku tulis.
Itulah yang pertama dan terakhir dalam hidupku, sejauh ini. Ya, sejauh ini. Pertama dan terakhirnya aku mengkiuti lomba tilawah. Kenangan yang terjadi saat aku duduk di kelas lima SD ini, adalah kenangan yang kelak tak akan pernah, tak pernah aku harap untuk terlupakan. Kenangan yang kadangkala mengembalikan memoriku untuk menyusuri lorong-lorong masa lalu.

Bingkisan sebagai hadiah memang tak begitu besar, hanya dua buah buku tulis. Jika mengingatnya saya kadang-kdang akan tersenyum sendiri.
“Cuma dua buku tulis?” kata kakakku. Entah bercanda atau ada maksud lain.
Namun, kini “bingkisan” itu menjadi salah satu hal yang sangat berharga bagi hidupku. Itulah yang pertama dan terakhirnya, sejauh ini. ya, sejauh ini. barangkali tak pernah terbayangkan, jika sekitar satu tahun kemudian cobaan yang begitu besar, sedemikian dahsyat, menghampiriku. Ya, mungkin engkau tak pernah membayangkan, bagaiamana seorang bocah sebelas tahun harus menghadapi kenyataan atas sebuah garis yang ditakdirkan-Nya. Kehilangan pendengaran, menjadi seorang tuna rungu, bukanlah cita-cita. Membayangkan pun tidak. Yang aku bayangkan adalah bagaimana menggantikan posisi bapak. sebagaimana yang tekah diamanatkannya.

Praktis, setelah kehilangan pendengaran aku sama sekali tak bersentuhan dengan Al Qur’an. Tak lagi mengaji kepada bapak ba’da maghrib. Padahal, ada puluhan teman-temanku yang mengaji kepada bapak di rumahku, sebgai sebuah kegiatan rutin yang aku sendiri tak ingat kapan mulainya. Memang, ada kesulitan tersendiri bagiku. Sistem pengajarannya memakai sistem lisan, tentu saja aku tak sanggup. Namun, orang tua telah mewajibkan kami, anak-anaknya, untuk membaca surah Yaasin tiap malam jum’at. Hingga aku dan saudara-saudaraku pun hafal surah yang memiliki banyak manfaat ini. sesakli di tambah surah AL Waqi’ah dan Al mulk.

Dulu, ada harapan besar dari seorang bapak yang disemayamkan dipundakku. Menggantikan posisinya adalah sesuatu yang sangat diharapkannya, ssuatu yang didambakannya. Namun, seperti sebuah kalimat yang selalu aku ingat “hidup tak seindah alur dalam dongeng”, begitulah pepatah yang layak disematkan dalam kisah perjalananku.

Namun, aku bersyukur. Sebelum mengalami cobaan ini, sebagai seorang tuna rungu, aku telah menamatkan Madrasah Diniyah Taklimiyyah Awaliyyah yang dihabiskan dalam jangka waktu empat tahun. Meski menjadi lulusan termuda, dengan usia belum genap 10 tahun ,sedangkan teman seangkatan sudah ada yang masuk SMP, aku pantas bersykur menjadi lulusan terbaik. Bahkan, aku satu-satunya yang cowok alias laki-laki, ^_^. Jika diakui, minoritas sebagai satu-satunya laki-laki tidak terlepas dari sosok seorang bapak. didikan agamanya sedemikian keras, hal ini tidak lain karena bapak berkali-kali menasihati kami “Dadi anake bapak kuwe kudu bisa dicontoh wong-wong lia, aja nganti gawe isin bapak” (jadi anaknya bapak itu harus bisa jadi teladan orang lain/masyarakat, jangan sampai membuat malu bapak ”.
Memang, semua nasihat bapak terkonstruksi sendiri , sebuah ruang yang terbentuk dari adat istiadat yang masih terpelihara. Semua terkait posisi bapak di kampung.
Meski membutuhkan proses yang relative panjang, sekitar dua tahun untuk bangkit dari keterpurukanku, aku bersyukur telah kembali seperti semula, meski dalam format yang berbeda. Akibat dari keadaan yang tak memungkinkan, aku hanya mengaji sendiri, meski jika diakui secara jujur intensitasnya belum sebarapa. Bahkan bisa dibilang sangat minim.

Berbeda dari saudara-saudaraku yang usai lulus SD diwajibkan nyantri di pondok pesantren sambil melanjutkan ke SMP atau MTs, mengikuti jejak bapak. Akibat dari kondisiku yang tidak memungkinkan, aku hanya melanjutkan ke MTs Negeri di kota kecamatan. Di mana semua siswanya adalah normal semua. Namun, bukan berarti aku tak mencintai agamaku, Islam. Pelajaran yang paling aku suka selain matematika adalah Al Qur’an dan Hadits. Lewat Al Qur’an dan Hadits inilah, aku bisa memperdalam pengetahuanku yang tak sempat aku dapatkan semenjak tuna rungu, termasuk bagaiamana membaca Al Qur’an yang baik dan benar.

Untuk melakukan tilawah, mengulang prestasi yang didapat saat kelas lima SD, barngakali adalah sesuatu yang tidak mudah, bahkan sesuatu yang sangat sulit. Untuk itulah, aku mengambil jalan lain. Aku belajar menulis kaligrafi secara otodidak. Kebetulan, di rumah nenek terdapat buku contoh kaligrafi milik pamanku saat masih nyatri di sebuah pondok pesantren. Aku pun meminjamnya, meski sampai sekarang belum dikembalikan, ^_^…

Dan aku bersyukur, saat di MTs Negeri, aku mendapat kepercayaan untuk membuat beberapa kaligrafi yang hendak dipajang di kelas, terutama saat-saat kenaikan kelas. Hal ini berlanjut saat SMA. Dan saat ada kompetisi lomba kaligrafi untuk memperingati HUT RI tingkat sekolah, aku pun optimis dapat menjadi yang terbaik. Dan Alhamdulillah, akhirnya sesuai harapan. Meski kini tak pernah lagi membuat kaligrafi, sekedar sesekali corat-coret di buku tulis aku sempat bertanya, adakah klub/komunitas kaligrafi di Jogja??

“Bingkisan” yang hanya berisi dua buah buku tulis yang kuperoleh saat kelas 5 SD, akan selalu saya kenang. Itulah, “bingkisan” yang -mungkin- pertama dan terakhir bagi hidupku. “bingkisan” yang kelak aku tak tahu, apakah aku dapat mengulanginya. Namun, aku sedang berusaha…

yang pasti, aku tak pernah kecewa terhadap kondisiku, bahwa apapun yang terjadi adalah yang terbaik bagi umat-Nya. Dan jalan menuju-Nya, dapat dilalui dengan beragam jalur yang berbeda. Aku yakin akan hal itu..

(to be continued…^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar