(sekedar berbagi dan mencoba menginspirasi)
Dulu. Ya, dulu.. bagiku menginjakkan sepasang kakiku dan menetap di
Yogyakarta adalah sesuatu yang tak pernah aku catat dalam buku harianku.
Mengenyam di bangku kuliah adalah sesuatu yang tak pernah terlintas
dalam benakku. Bertemu, berkawan, dan bergaul dengan orang-orang hebat
dan inspiratif di univeritas negeri terbesar dan tertua di Indonesia
adalah selaksa pungguk merindukan rembulan, tak pernah ada. Ya, tak
pernah ada dalam pikiranku. Saat terjaga maupun tiada terjaga.
Dulu. Ya, dulu… Jauh dari orang tua dan hidup mandiri saat aku belum
selesai mengeja tentang kehidupanku tak pernah terlintas dalam laci
pikiranku. Mungkin saat yang lain duduk berlama-lama, bersantai ria di
starbuck, bermanja dengan secangkir kopi hangat yang senantiasa
mengepulkan simbol-simbol kehidupan yang gamblang, aku masih berkutat
dalam pengembaraan yang entah dan tak…
Dulu. Ya, dulu…
Mengenyam pendidikan di MTs Negeri bahkan adalah sesuatu yang sebelumnya
tak pernah menyibukkan diri dalam pikiranku. Dan duduk di bangku SMA
Ma’arif adalah sesuatu yang asing. Dan karena demikianlah, dulu aku
adalah sosok yang senantiasa dianggap asing. Pula, sampai sekarang
mungkin aku masih dan tetap akan berada dalam kaca mata asing. Atau
memang aku yang mengasingkan diri? Entahlah…
Kini. Ya, kini.
Aku senantiasa bertahmid, bertakbir pada Sang Rahman dan Rahiim, sembari
melantunkan "fa bi ayyi alaa irabbikuma tukaddibaan"
Kini. Ya,
kini. Aku semakin yakin bahwa apa yang terjadi adalah yang terbaik bagi
umat-Nya. Entah Dia menghadirkan secangkir kopi kala kita mengantuk
dalam kekosongan. Secangkir es kala kita tergolek dalam sahara. Atau.
Saat Dia menghujamkan batu-batu cadas dan membubuhkan jalanan berkelok
di depan kita. Semua itu. ya, aku katakan sekali lagi, semua itu tinggal
bagaimana kita menyikapi dan memaknai esensi takdir yang sesungguhnya.
Ia hadir bukanlah sebentuk tembok berlapis baja yang merintangi
perjalanan kita. Ia sekedar UJIAN KEIMANAN dari Sang Maha. Sebentuk
cinta kasih-Nya, untaian mahabbah-Nya.
Kini. Aku tak lagi
menggugat atas takdir-Nya. Dulu, aku seringkali menegutuk esensi
kehidupanku. Entahlah, tak pernah terlintas dalam benakku untuk kembali
terlahir sebagai seorang tuna rungu ketika aku masih berusia sebelas
tahun. Sungguh, aku hanya seorang bayi yang mengharuskan belajar dari
nol: merangkak, berdiri, lalu berlari.
Kini, aku bersyukur.
Senantiasa menguntai rasa sykur tiiada terkira pada Sang Khaliq. Tak
terkira, bagaimana rasanya bisa mengenyam di bangku kuliah dengan
beasiswa. Tak pernah terbayangkan, bagaimana rasanya hidup mandiri, jauh
dari orang tua, tak lagi menjadi tanggungan orang tua. Namun di luar
itu, aku sadar. Bahwa orang tua senantiasa menitikkan air mata dalam
setiap munajatnya, menguntai do’a untukku.
“Tanpa pernah di minta, yang di rumah hampir tiap usai shalat mendoakanmu…”
Itulah sms yang aku dapatkan dari orang tua antara 2-3 kali selama
merantau di Kota Pelajar. Sungguh, aku semakin yakin, bahwa aku tidaklah
berjalan, menyusuri titian demi titian ini hanya seorang diri. do'a
orang tua adalah intinya. lebih ijabah..
Dan kini. Aku semakin
bersyukur atas nikmat yang satu lagi. sebelumnya, seringkali aku harus
pusing tujuh keliling memikirkan biaya hidup dan kost. selain karena tak
pernah lagi dapat kiriman dari orang tua, juga kegiatan menulisku yang
menurun dratis.
Alhamdulillah, sejak lebih dari sebulan lalu
aku memulai babak baru. Tak lagi harus bersusah payah untuk uang kost
dan biaya hidup. Semua itu berkat mereka yang sekarang aku panggil
Bapak-Ibu selama di Jogja. Ya, mereka adalah orang tua kedua bagiku,
orang tua angkatku selama merantau di Kota Gudeg.
Bahkan, aku
semakin terharu betapa baiknya mereka. Bapak berprofesi sebagai dosen
Fakultas Teknik UGM, sedangkan Ibu yang berlatar pendidikan farmasi
mengurusi berbagai bisnis. Entahlah, apa yang harus aku ucapkan lewat
kata-kata. Belum lama tinggal bersama mereka aku telah mengahabiskan
biaya dari Bapak Angkat lebih dari 600 ribu. Itu adalah biaya untuk
periksa pendengaranku. Dan kini, Subhanallah wal hamdulillah, mereka
sedang mengusahakan alat bantu dengar buatku yang harganya mencapai
jutaan...
Sungguh, bagiku itu jumlah yang tak kecil. Aku hanya
anak seorang guru swasta yang gajinya tidak lebih dari 850 ribu, itupun
bukanlah penghasilan bersih. Bahkan rumahku hanyalah berdinding papan
dan anyaman bambu, hanya lantai yang sudah dikatakan layak, campuran
keramik dan plester. Namun, aku bersyukur di rumah sederhana yang sejuk
itu senantiasa bersemayam rahmat Allah. Di tempat yang sederhana itulah,
sejak puluhan tahun lalu, hampir tiap hari anak-anak menggapai rahmat
Allah dengan mengaji ke bapak dibantu asisten santri senior yang sudah
naik tingkat mengaji beberapa kitab kuning. Selama puluhan tahun juga,
mereka tanpa kewajiban membayar biaya, alias gratis. Namun, sebagian
orang tua mereka kadangkala menyumbang seadanya, semacam shodaqoh, tanpa
pernah kami minta. dulu kami sempat nanya, "kok gak kayak di tempat Pak
Y yang tiap bulan wajib iuran?". bapak hanya menjawab singkat "Tak
perlu!". dan kini aku mulai tahu apa jawaban yang sesungguhnya di mata
Bapak.
Dan satu lagi, di rumah baru selama di yogya yang terasa
damai ini, aku menemukan kembali tentang apa yang aku harapkan. Shalat
tahajjud th diwajibkan oleh orang Ibu angkat. Saat masih kost,
seringkali aku kesulitan saat hendak berwudlu dini hari. Kini semakin
mudah. Di sisi lain, adalah suatu nikmat tersendiri mereka menyediakan
ustadz untuk mengajarkanku dan 3 penghuni lain tentang agama. Bahkan,
aku sempat menemani Pak Ustadz –begitulah kami memanggilnya- berdakwah
di lereng merapi. Di lereng merapi inilah, secara tak terduga aku
bersilaturrahim dengan peraih Piala Kalpataru, Bapak Syambyah. Bahkan,
entah bercanda atau tidak, dalam suatu kesempatan usai mengaji, Pak
Ustadz berkata kepadaku “Kapan-kapan aku ajak ke Surabaya buat
berceramah di sana!”
Aku terkejut. beliau adalah memang
pengasuh Madrasatul Qur'an AL Anwar, SUrabaya. dan aku senang karena
beliau sama-sama dari NU. Memang ingin sekali aku berbagi terhadap
sesama. Ingin sekali berbagi tentang dunia. Tentang suka dan duka. Dan
yang pasti, aku mencoba mengamalkan pesan bapak kandungku “jadilah sosok
yang menjadi teladan masyarakat!”.
Aku mencoba melakukan itu.
Karena satu hal, Aku tak mampu melaksanakan pesan bapak untuk
menggantikan posisinya di kampung halaman. Dan aku telah melimpahkan
amanah itu kepada adikku, yang insya Allah sanggup memegangnya. aamiin..
Dulu, aku barangkali adalah rentetan kisah using yang layak dibuang.
Akan tetapi, kini aku tak pernah lagi merasa hal yang demikian. Karena
aku percaya. Karena aku yakin akan takdir-Nya.
Dan satu lagi,
meski aku hanya seorang tuna rungu. Yang sebagian besar menganggap
berbeda dari Anda. Namun TIDAK bagiku. SETIAP MANUSIA DI MATA-NYA ADALAH
SAMA, YANG MEMBEDAKAN ADALAH TINGKAT KEIMANAN DAN KETAKWAANNYA….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar