Ketik di sini

Senin, 24 September 2012

Antara Dulu dan Kini

(sekedar berbagi dan mencoba menginspirasi)

Dulu. Ya, dulu.. bagiku menginjakkan sepasang kakiku dan menetap di Yogyakarta adalah sesuatu yang tak pernah aku catat dalam buku harianku. Mengenyam di bangku kuliah adalah sesuatu yang tak pernah terlintas dalam benakku. Bertemu, berkawan, dan bergaul dengan orang-orang hebat dan inspiratif di univeritas negeri terbesar dan tertua di Indonesia adalah selaksa pungguk merindukan rembulan, tak pernah ada. Ya, tak pernah ada dalam pikiranku. Saat terjaga maupun tiada terjaga.

Dulu. Ya, dulu… Jauh dari orang tua dan hidup mandiri saat aku belum selesai mengeja tentang kehidupanku tak pernah terlintas dalam laci pikiranku. Mungkin saat yang lain duduk berlama-lama, bersantai ria di starbuck, bermanja dengan secangkir kopi hangat yang senantiasa mengepulkan simbol-simbol kehidupan yang gamblang, aku masih berkutat dalam pengembaraan yang entah dan tak…

Dulu. Ya, dulu… Mengenyam pendidikan di MTs Negeri bahkan adalah sesuatu yang sebelumnya tak pernah menyibukkan diri dalam pikiranku. Dan duduk di bangku SMA Ma’arif adalah sesuatu yang asing. Dan karena demikianlah, dulu aku adalah sosok yang senantiasa dianggap asing. Pula, sampai sekarang mungkin aku masih dan tetap akan berada dalam kaca mata asing. Atau memang aku yang mengasingkan diri? Entahlah…

Kini. Ya, kini. Aku senantiasa bertahmid, bertakbir pada Sang Rahman dan Rahiim, sembari melantunkan "fa bi ayyi alaa irabbikuma tukaddibaan"

Kini. Ya, kini. Aku semakin yakin bahwa apa yang terjadi adalah yang terbaik bagi umat-Nya. Entah Dia menghadirkan secangkir kopi kala kita mengantuk dalam kekosongan. Secangkir es kala kita tergolek dalam sahara. Atau. Saat Dia menghujamkan batu-batu cadas dan membubuhkan jalanan berkelok di depan kita. Semua itu. ya, aku katakan sekali lagi, semua itu tinggal bagaimana kita menyikapi dan memaknai esensi takdir yang sesungguhnya. Ia hadir bukanlah sebentuk tembok berlapis baja yang merintangi perjalanan kita. Ia sekedar UJIAN KEIMANAN dari Sang Maha. Sebentuk cinta kasih-Nya, untaian mahabbah-Nya.

Kini. Aku tak lagi menggugat atas takdir-Nya. Dulu, aku seringkali menegutuk esensi kehidupanku. Entahlah, tak pernah terlintas dalam benakku untuk kembali terlahir sebagai seorang tuna rungu ketika aku masih berusia sebelas tahun. Sungguh, aku hanya seorang bayi yang mengharuskan belajar dari nol: merangkak, berdiri, lalu berlari.

Kini, aku bersyukur. Senantiasa menguntai rasa sykur tiiada terkira pada Sang Khaliq. Tak terkira, bagaimana rasanya bisa mengenyam di bangku kuliah dengan beasiswa. Tak pernah terbayangkan, bagaimana rasanya hidup mandiri, jauh dari orang tua, tak lagi menjadi tanggungan orang tua. Namun di luar itu, aku sadar. Bahwa orang tua senantiasa menitikkan air mata dalam setiap munajatnya, menguntai do’a untukku.

“Tanpa pernah di minta, yang di rumah hampir tiap usai shalat mendoakanmu…”

Itulah sms yang aku dapatkan dari orang tua antara 2-3 kali selama merantau di Kota Pelajar. Sungguh, aku semakin yakin, bahwa aku tidaklah berjalan, menyusuri titian demi titian ini hanya seorang diri. do'a orang tua adalah intinya. lebih ijabah..

Dan kini. Aku semakin bersyukur atas nikmat yang satu lagi. sebelumnya, seringkali aku harus pusing tujuh keliling memikirkan biaya hidup dan kost. selain karena tak pernah lagi dapat kiriman dari orang tua, juga kegiatan menulisku yang menurun dratis.

Alhamdulillah, sejak lebih dari sebulan lalu aku memulai babak baru. Tak lagi harus bersusah payah untuk uang kost dan biaya hidup. Semua itu berkat mereka yang sekarang aku panggil Bapak-Ibu selama di Jogja. Ya, mereka adalah orang tua kedua bagiku, orang tua angkatku selama merantau di Kota Gudeg.

Bahkan, aku semakin terharu betapa baiknya mereka. Bapak berprofesi sebagai dosen Fakultas Teknik UGM, sedangkan Ibu yang berlatar pendidikan farmasi mengurusi berbagai bisnis. Entahlah, apa yang harus aku ucapkan lewat kata-kata. Belum lama tinggal bersama mereka aku telah mengahabiskan biaya dari Bapak Angkat lebih dari 600 ribu. Itu adalah biaya untuk periksa pendengaranku. Dan kini, Subhanallah wal hamdulillah, mereka sedang mengusahakan alat bantu dengar buatku yang harganya mencapai jutaan...

Sungguh, bagiku itu jumlah yang tak kecil. Aku hanya anak seorang guru swasta yang gajinya tidak lebih dari 850 ribu, itupun bukanlah penghasilan bersih. Bahkan rumahku hanyalah berdinding papan dan anyaman bambu, hanya lantai yang sudah dikatakan layak, campuran keramik dan plester. Namun, aku bersyukur di rumah sederhana yang sejuk itu senantiasa bersemayam rahmat Allah. Di tempat yang sederhana itulah, sejak puluhan tahun lalu, hampir tiap hari anak-anak menggapai rahmat Allah dengan mengaji ke bapak dibantu asisten santri senior yang sudah naik tingkat mengaji beberapa kitab kuning. Selama puluhan tahun juga, mereka tanpa kewajiban membayar biaya, alias gratis. Namun, sebagian orang tua mereka kadangkala menyumbang seadanya, semacam shodaqoh, tanpa pernah kami minta. dulu kami sempat nanya, "kok gak kayak di tempat Pak Y yang tiap bulan wajib iuran?". bapak hanya menjawab singkat "Tak perlu!". dan kini aku mulai tahu apa jawaban yang sesungguhnya di mata Bapak.

Dan satu lagi, di rumah baru selama di yogya yang terasa damai ini, aku menemukan kembali tentang apa yang aku harapkan. Shalat tahajjud th diwajibkan oleh orang Ibu angkat. Saat masih kost, seringkali aku kesulitan saat hendak berwudlu dini hari. Kini semakin mudah. Di sisi lain, adalah suatu nikmat tersendiri mereka menyediakan ustadz untuk mengajarkanku dan 3 penghuni lain tentang agama. Bahkan, aku sempat menemani Pak Ustadz –begitulah kami memanggilnya- berdakwah di lereng merapi. Di lereng merapi inilah, secara tak terduga aku bersilaturrahim dengan peraih Piala Kalpataru, Bapak Syambyah. Bahkan, entah bercanda atau tidak, dalam suatu kesempatan usai mengaji, Pak Ustadz berkata kepadaku “Kapan-kapan aku ajak ke Surabaya buat berceramah di sana!”

Aku terkejut. beliau adalah memang pengasuh Madrasatul Qur'an AL Anwar, SUrabaya. dan aku senang karena beliau sama-sama dari NU. Memang ingin sekali aku berbagi terhadap sesama. Ingin sekali berbagi tentang dunia. Tentang suka dan duka. Dan yang pasti, aku mencoba mengamalkan pesan bapak kandungku “jadilah sosok yang menjadi teladan masyarakat!”.

Aku mencoba melakukan itu. Karena satu hal, Aku tak mampu melaksanakan pesan bapak untuk menggantikan posisinya di kampung halaman. Dan aku telah melimpahkan amanah itu kepada adikku, yang insya Allah sanggup memegangnya. aamiin..

Dulu, aku barangkali adalah rentetan kisah using yang layak dibuang. Akan tetapi, kini aku tak pernah lagi merasa hal yang demikian. Karena aku percaya. Karena aku yakin akan takdir-Nya.

Dan satu lagi, meski aku hanya seorang tuna rungu. Yang sebagian besar menganggap berbeda dari Anda. Namun TIDAK bagiku. SETIAP MANUSIA DI MATA-NYA ADALAH SAMA, YANG MEMBEDAKAN ADALAH TINGKAT KEIMANAN DAN KETAKWAANNYA….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar